Suhrawardi Al-Maqtul : Filsafat Cahaya

katakurik
8 min readJul 17, 2021

--

oleh : Muhammad Aldiansyah

Tulisan ini dibuat berdasarkan Referensi Saya pada kuliah online yang dibawakan oleh Dr. Fahruddin Faiz melalui platform media sosial youtube. Akan tetapi, nyatanya konsepsi berpikir demikian agaknya keliru mengingat filsafat itu layaknya sebilah pisau. Anda dapat menggunakan pisau untuk membunuh, namun juga dapat digunakan untuk memotong sayur. Apabila Anda menggunakan dalil-dalil dalam kitab suci untuk menjustifikasi tindakan membunuh, maka ke arah itu-lah filsafat. Jika Anda menggunakan dalil-dalil kitab suci untuk kepentingan moral, maka ke arah itu pula filsafat. Filsafat laksana pisau bedah yang dapat mengupas berbagai permasalahan dan pertanyaan dalam hidup kita. Tidak terkecuali dalam ranah agama, kita juga bisa beragama menggunakan filsafat sebagai pisau yang membedahnya. Biasanya orang-orang yang berhasil melakukannya sudah tergolong sebagai para sufi (guru besar), dimana mereka berhasil mengalami kebenaran dalam agama menggunakan filsafat. Agakanya, tidak naif apabila Saya katakan zaman sekarang manusia beragama bukan atas dasar pilihannya sendiri, melainkan tuntutan dari berbagai faktor, seperti keluarga, budaya, lingkungan, pernikahan dan sebagainya. Dengan demikian, Saya rasa itu bukanlah “agama” sebagaimana yang dicita-citakan para Nabi pendahulu, agama yang yang solid, melainkan hal tersebut adalah “doktrin”. Salah satu output yang dapat digunakan untuk terhindar dari hal semacam ini adalah filsafat. Beragama menggunakan nalar, logika ataupun rasio untuk kita benar-benar dapat “memahami” agama secara subtantif.

Syihabuddin Yahya bin Habasy bin Amirak As-Suhrawardi Al-Maqtul (Suhrawardi Al-Maqtul) adalah seorang filsuf aliran tasawuf iluminasi. Seacara harafiah, Al-Maqtul berarti ‘dibunuh’. Gelar ini diberikan karena dipenghujung hidupnya, Suhrawardi dijatuhi hukuman mati. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak muda yang gila akan ilmu pengetahuan. Ia mengembara ke berbagai negara untuk berguru kepada beberapa ilmu sufi dan tasawuf. Suhrawardi memiliki hubungan dekat dan dapat dikatakan ia bersahabat dengan Malik Az-Zahir, anak dari Salahuddin Al-Ayyubi (seorang sultan). Namun, kecerdasan Suhrawardi yang diatas rata-rata ini menjadikannya banyak musuh, banyak yang iri dengannya sehingga tidak sedikit yang menebar fitnah tentangnya. Hingga suatu hari diadakan forum diskusi yang menghadirkan Suhrawardi, Malik dan beberapa orang yang tidak suka dengannya. Akan tetapi, Suhrawardi memenangkan perdebatan tersebut sehingga kelompok yang kontra dengannya memutuskan untuk mengirim surat kepada ayah Malik (Salahuddin), bahwa anaknya dalam bahaya karena dekat dengan Suhrawardi yang akan membawanya pada kesesatan, kekafiran dan sebagainya. Pada akhirnya, Salahuddin yang terhasut mengirimkan surat kepada anaknya untuk menghukum mati Suhrawardi. Malik Az-Zahir-pun tidak berkutik karena ini adalah perintah langsung dari sang sultan, sehingga dihukum matilah Suhrawardi pada usia 36 tahun dan kemudian terbentuklah nama Suhrawardi Al-Maqtul. Kendati demikian, kematian Suhrawardi ini memberikan sumbangsih gagasan yang cukup signifikan bahkan hingga hari ini. Al-hikmah bahkan hingga hari ini masih hidup, apabila di barat berkembang menjadi intusionisme meskipun lebih merujuk pada ranah etika.

source: google.com

Karya Suhrawardi cukup banyak, sekitar dua puluh lebih beliau berhasil menerbitkan karya-karyanya. Akan tetapi, terdapat 4 karya yang berhubungan langsung dengan filsafat iluminasionismenya : Al-Talwihat, Al-Muqawamat, Al-Mashari wa Mutaharat dan Hikmat al-Ishraq. Karya Al-Talwihat mendasarkan kerangka metodelogisnya kepada ajaran Aristoteles dan kritik kepada filsafat paripatetik. Kemudian Al-Muqawamat telah menggunakan berbagai istilah teknis ajaran filsafat iluminasi secara komprehensif dan spesifik. Al-Mashari wa Mutaharat menguraikan secara lebih luas tentang bagaimana filsafat seharusnya dibangun. Sedangkan Hikmat al-Ishraq memuat tiga subjek yang mendasari bangunan filsafat iluminasinya.

Dewasa ini, kita kerap terjebak dalam paradigma bahwa ilmu pengetahuan itu hanyalah yang ‘masuk akal’ dan ‘kelihatan’ belaka, dimana yang kelihatan ini kerap disebut cara berpikir induksi dan yang masuk akal ini disebut deduksi. Nyatanya, model ilmu pengetahuan itu sendiri ternyata masih banyak dan lebih dari itu. Pikiran Suhrawardi ini sekaligus yang akan menginspirasi para tokoh barat untuk melahirkan hermeneutika, teori kritis, pluralisme dan sejenisnya. Dengan demikian, apabila kita masih terkungkung dalam jebakan positivisme yang bersifat rasional dan empiris, seseorang tidak akan mendapatkan kebenaran selain kebenaran faktual dan empiris. Padahal, masih banyak kebenaran-kebenaran lain yang diluar ‘faktual’ dan ‘empiris’.

Kebenaran empiris bagi Suhrawardi masih terdapat kelemahan didalamnya. Apabila mendasarkan kebenaran pada persepsi inderawi manusia, kita kerap keliru. Misal ketika kita melihat pensil yang dicelupkan kedalam gelas berisi air, dimana pensil tersebut nampak patah padahal tidak. Misal contoh lainnya adalah pelangi. Kebenaran rasional juga demikian, masih terdapat kelemahan. Memutuskan pacar Anda yang toxic mungkin sangatlah logis, namun setelah putus Anda malah sakit hati yang tak berkesudahan hingga air mata Anda membentuk sebuah danau, keliru pula rasio kita. Hal lain misal Anda melihat dua orang pria dan perempuan sedang mojok, kemudian Anda menyimpulkan bahwa mereka sedang pacaran. Padahal itu adalah seorang ibu dan anak yang sedang bersantai. Secara logis memang terlihat pacaran, namun nyatanya tidak. Disini Suhrawardi berpendapat bahwasanya yang paling mendekati kebenaran bukanlah pengetahuan dari kedua variabel tersebut (empiris dan rasional), melainkan haqul yakin (pengetahuan yang didasarkan pada insting / naluriah / ilhamiah).

Suhrawardi berpendapat bahwasanya seseorang yang mencari kebenaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis. Pertama adalah mereka yang tidak mampu mengungkapkan pengalamannya secara diskursif. Seseorang yang sudah menemukan kebenaran secara langsung, namun tidak mampu untuk menceritakannya. Dimana kebenarannya hanya untuk dirinya sendiri. Kedua adalah orang yang sangat cerdas, rasionya sangat jalan, rapih dalam berpikir, namun tidak memiliki pengalaman mistik. Kebenarannya bersifat tidak langsung. Semua pengetahuannya bersifat demonstratif burhani dan bukan pengalaman langsung. Bisa berbicara namun tidak melakukan. Ketiga adalah mereka yang disamping memiliki pengalaman mistik yang mendalam dan otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa diskursif seperti yang terjadi misalnya pada diri Plato dan Suhrawardi pada masanya. Memiliki kebenaran secara langsung dan bisa menjelaskannya. Ketiga hal tersebut dapat menemukan kebenaran, namun yang paling bermanfaat adalah yang ketiga. Pelaku sekaligus penjelas. Orang yang sudah menikah dan bisa menjelaskan hikmah dari pernikahan itu sendiri. Tipe yang kedua adalah orang yang belum menikah, namun sudah membaca berbagai literasi dan teori tentang pernikahan. Kemudian yang pertama adalah mereka yang sudah menikah namun belum bisa menjelaskan hikmah dari pernikahan itu sendiri. Kebenarannya hanya untuk dirinya sendiri.

Suhrawardi berpandangan bahwa kebenaran itu abadi, zoroaster, ada di tradisi manapun, budaya religius manapun, hanya saja “bungkus” dari kebenaran ini berbeda-beda. Sumber yang berbeda namun hakikat kebenarannya ini sama, baik dari Yunani maupun Mesir, Islam atau Nasrani, Jawa atau Batak dan sebagainya. Kebenaran itu sama hanya saja kemasannya yang berbeda. Misal seperti agama, dimana agama-agama itu adalah kemasan, tetapi spiritualitas itu esensinya dan pada level esensi ini semua kebenaran adalah sama.

Dasar filsafat Iluminasi ala Suhrawardi adalah Qur’an Surat An-Nur ayat 35. Falsafah Suhrawardi menggunakan simbolisasi berupa cahaya karena Tuhan sendiri berkata “Aku bukanlah cahaya seperti yang menyinari langit dan bumi, tetapi aku adalah cahaya itu sendiri.” Cahaya yang maha cahaya. Manusia, tumbuhan dan hewan mengandung kadar tertentu nur-nya Tuhan. Jika kita jelih, kita akan melihat sedikit cahaya dari tiap wajah seseorang. Di barat mungkin sebutannya adalah aura. Tuhan adalah cahaya yang menyala tanpa membutuhkan variabel lain untuk membuatnya menyala. Inilah poros yang digunakan oleh Suhrawardi dalam menyusun gagasannya.

Tuhan adalah Cahaya dari semua cahaya (Nur al-Anwar) dan sumber bagi semua yang ada. Cahaya seperti lampu, api dan matahari merupakan limpahan cahaya dari Tuhan itu sendiri. Segala makhluk dan alam semesta merupakan gradasi dari cahaya Tuhan. Sedangkan cahaya yang paling dekat dengan Cahaya disebut dengan nur muhammad. Model penciptaan dalam imajinasi Suhrawardi adalah seperti cahaya yang memancar dari Nur al-Anwar, dari Cahaya yang maha cahaya. Mirip seperti emanasi plotinos dan konsep Ibn Arabi yang pantheisme. Perbedaannya adalah bahwa Suhrawardi panentheisme, tidak menganggap kita sebagai Tuhan melainkan terdapat bagian Tuhan dalam diri kita.

Suhrawardi berpendapat tentang ontologi cahaya, dimana cahaya itu sendiri memiliki dua jenis: ada yang fakir dan membutuhkan seperti cahaya akal dan jiwa manusia; dan ada yang kaya serta absolut yang tidak membutuhkan sama sekali, sebab tidak ada lagi cahaya di atasnya. Cahaya tersebut disebut dengan al-Haqq yang Maha Suci atau oleh Ibn Sina disebut sebagai wajib al-wujud bi zatih. Dalam konteks ini, ia disebut Cahaya segala cahaya (Nur al-Anwar), Cahaya Yang Meliputi (al-Nur al-Muhith), Cahaya Yang Menguasai (al-Nur al-Qayyum), Cahaya Yang Suci (al-Nur al-A’zam), Cahaya Tertinggi (al-Nur al-A’la), Cahaya Maha Pemaksa (al-Nur al-Qahhar).

Berangkat dari penjelasan sebelumnya, mungkin kita bertanya apa implikasi cahaya bagi pengetahuan? Suhrawardi berpendapat, pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan yang tidak keluar, tetapi kedalam. Pengetahuan yang dialami langsung (knowledge by presence). Melihat kedalam batin. Ini adalah awal mula Suhrawardi yang bosan belajar filsafat paripatetik. Ada suatu kisah dimana ketika Suhrawardi tertidur, ia mimpi bertemu dengan Aristoteles. Dengan keadaan yang sedang bosan dan sumpek dengan aliran paripatetik, Suhrawardi-pun langsung bertanya kepada ahli logika Yunani Kuno tersebut : “Aristoteles, Aku bingung pengetahuan yang benar itu ada dimana sih?” Aristoteles pun menjawab, “Tanyakan pada dirimu sendiri.” Setelah mimpi tersebut, Suhrawardi terbangun dan merenungkan pernyataan “Tanyakan pada dirimu sendiri” tersebut. Dengan demikian, setelah merenungkannya Suhrawardi menyadari sesuatu, bahwa ternyata diantara semua pengetahuan yang paling meyakinkan adalah pengetahuan yang konfirmasi kebenarannya kedalam dan bukan keluar. Misalnya, menurut Saya Messi itu pesepakbola bertubuh pendek, dimana Saya mengerti hal tersebut dari internet dan wikipedia (kebenarannya bersifat keluar). Namun, derajat kebenarannya akan lebih tinggi apabila jawabannya “Kemarin Saya bertemu dan berjabat tangan langsung dengannya”. Referensi yang pertama bersifat keluar (media internet), sedangkan yang kedua bersifat kedalam (diri sendiri). Inilah haqul yakin Suhrawardi, dimana Saya mengalami sendiri kebenaran, tidak sekadar Saya melihat atau mikir sendiri. Melihat dan berpikir bisa dari internet dan berspekulasi, namun mengalami sendiri adalah suatu hal yang berbeda.

Hal ini agaknya mirip dengan apa yang dikenal sebagai pengetahuan swa-objek, yakni pengetahuan yang tidak ada objeknya. Hal ini disebabkan karena antara yang mengetahui dan diketahui menjadi satu. Tendensi ilmu saat ini adalah bersifat keluar. Namun yang lebih mapan adalah yang kedalam, swa-objek, objeknya adalah Saya sendiri dimana Saya mempertanyakan diri Saya sendiri dan yang mengetahui juga Saya, itulah yang disebut juga sebagai self-awareness. Swa-objek ini termasuk salah satu pengetahuan yang berasal dari pantulan Cahaya Tuhan tadi, pengetahuan yang naluriah dan instingtif. Dengan kata lain, dapat disimpulkan pula bahwa ilmu itu adalah cahaya. Dikarenakan ilmu itu adalah cahaya, maka seseorang jauh dari Cahaya, yang hatinya gelap, akan kesulitan dalam memahami segala sesuatu.

Suhrawardi juga memiliki satu analogi yang cukup terkenal, yakni anaologi cermin. Cermin digambarkan sebagai manusia, sedangkan matahari adalah Tuhan. Ketika cermin dihadapkan kepada matahari, maka sinar matahari akan diserap oleh cermin tersebut dan dipantulkannya kembali. Andaikan cermin mampu melihat ke dalam dirinya, ia akan terkejut dan mengira bahwa dirinya-lah matahari itu karena betapa kuatnya cahaya matahari tersebut. Ketika manusia mampu mensucikan dirinya dan membersihkannya dengan sedemikian rupa, maka ia layak diserupakan dengan cermin. ketika ia menjumpai “tanda-tanda kekuasaan ilahi”, ia menerima cahaya ilahi yang dipancarkan sedemikian kuatnya ke dalam dirinya. Ia serap cahaya ilahi itu lalu ia pantulkan kembali. Banyak tokoh yang telah berhasil melaluinya, salah satunya adalah Nabi Muhammad SAW. Cahaya ilahi yang diserap oleh sang Nabi dipantulkannya ke seluruh alam semesta. Oleh karenanya, kehadiran Muhammad mampu menebarkan rahmat ke seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Engkau Hanya Kaca, Bukan Cahaya” — Suhrawardi Al-Maqtul

Sadarilah bahwa apapun kelebihan dan keunggulan dalam dirimu, itu hanyalah pantulan Cahaya Tuhan. Dengan kata lain, Suhrawardi menyampaikan kepada kita sebagai manusia, janganlah sombong, merasa tinggi, merasa lebih dan sebagainya. Kualitas setinggi apapun yang kita miliki, itu hanyalah pantulan dari Cahaya Ilahi.

--

--

katakurik
katakurik

Written by katakurik

Digital Creative Enthusiast | Bachelor of Philosophy | Digital Marketer

Responses (1)