oleh : Muhammad Aldiansyah
Pemilihan judul Si-Miskin dan Si-Kaya Saya gunakan tidak lain hanya sebatas selera humor Saya. Kata “kicauan” juga demikian, agaknya sedang malas membuat tulisan yang terlalu berbahasa positivistik dan ilmiah. Tulisan ini dibuat dikala hujan dan sore hari, dimana PPKM dengan tingkat kepedasan level 4 di Jakarta masih diberlakukan dengan rumor akan diperpanjang lagi. Tidak sedikit Saya membaca dan mendengar berita di media sosial bahwa isu-isu ekonomi dan sosial sedang hangat-hangatnya diluar sana dengan diresmikannya PPKM ini sejak beberapa minggu yang lalu. Si-Kaya teriak prokes dan Si-Miskin teriak lapar. Semangat selalu untuk Indonesia, Saya yakin badai ini akan segera berlalu dan semoga kita selalu diberikan kenikmatan untuk tetap dapat menghirup oksigen yang mungkin terkadang tidak kita sadari bahwa ini termasuk nikmat. Lahirnya Si-Miskin dan Si-Kaya ini (kelas sosial) agaknya mengacu pada pengelompokkan sosial-ekonomi, kurang lebih begitu penyelidikkan yang dihasilkan Marx pada pertengahan abad-19. Dengan demikian, butiran yang akan dibahas pada cuitan Saya sore ini antara lain adalah Karl Marx, kelas sosial dan ekonomi itu sendiri. Ide dalam tulisan ini sebagian besar berasal atas refleksi Saya ketika mengambil kelas filsafat sosial dan kuliah online melalui platform youtube. Apa yang ingin Saya utarakan adalah bagaimana relasi sosial ini berdampak pada kehidupan manusia dengan mengacu pada faktor sosio-historis Karl Marx serta menekankan pada proses bagaimana terjadinya ketimpangan sosial.
Ketika ngomongin Karl Marx , mungkin sobat yang tidak asing dengan namanya akan langsung memiliki intensi kearah komunisme. Saya-pun demikian. Sebelum sampai kesitu, Saya ingin menceritakan sedikit dari sisi historis Karl Marx yang nantinya tentu akan bermuara pada konsep relasi kelas ala Marx. Karl Marx hidup pada masa revolusi industri yang sedang marak-maraknya kala itu. Sekitar abad-19, Eropa mengalami ledakan intelektual yang mengakibatkan lahirnya berbagai macam teknologi dan alat produksi. Akan tetapi, dalam masa modernitas tersebut Marx melihat adanya suatu ketimpangan dalam hal sosial yang terjadi di Eropa. Saat itu, setelah runtuhnya era feodalisme (sistem kerajaan), lahirlah era borjuis (Si-Kaya) di Eropa. Kaum-kaum borjuis disini adalah mereka yang menguasai alat produksi yang kemudian menguasai hajat hidup banyak orang. Sementara Si-Miskin adalah kaum proletar seperti para buruh pabrik, petani, pegawai, driver ojol, pengangguran yang bermain mobile legends (bukan pro-player tentunya), bocah ff dan sebagainya. Terbentuknya kelas-kelas sosial semacam ini tidak lain merupakan konsekuensi dari terjadinya ketimpangan dan relasi ekonomi antara Si-Miskin dan Si-Kaya tadi.
Basis filosofi Marx Saya klasifikasikan menjadi 3: (a) kebebasan dan kreativitas, (b) kesetaraan dan (c) kritik terhadap kapitalisme. Menurut Marx, tatanan sosial dalam kehidupan manusia terdiri dari basestructure, yakni dasar / pondasi dalam kehidupan yang dimana hal itu adalah ekonomi dan alat produksi. Kemudian superstructure yang merupakan tiang-tiang kehidupan seperti hukum, politik, budaya, agama dan sebagainya. Marx berkicau bahwa ekonomi adalah pondasi kehidupan, dikarenakan baginya segala kepentingan manusia tidak luput dari faktor ekonomi. Kicauan tersebut bahkan menurut Saya hingga era saat ini masih relevan. Misal apabila Saya pergi ke kampus, itu juga adalah kepentingan ekonomi karena setelah Saya lulus, Saya akan bekerja dan mendapatkan gaji. Para pro-player mobile legends pun Saya rasa demikian, bahwa disamping hobi mereka bermain game mengapa tidak sekalian menghasilkan uang dari hobi mereka tersebut. Bahkan ketika kita beribadah-pun, sebenarnya kita menjalankan ritual tersebut karena kepentingan ekonomi, karena dengan beribadah kita berarti menginvestasikan pahala yang ditujukan agar kita dapat masuk surga Tuhan. Saya jajan ke indomaret itu, bahkan sebelum sampai di indomaret juga ada aspek ekonominya (bensin dan motor). Ekonomi seperti sudah melekat erat dengan eksistensi manusia dimanapun ia berada.
Pada awal paragraf Saya sempat menyinggung bahwa Marx menekankan pada relasi ekonomi. Apa yang ingin ia katakan adalah bahwasanya relasi ekonomi ini yang kemudian akan membentuk kesadaran siapakah diri Anda (identitas). Dari kesadaran ini lahirlah “kelas” dalam tatanan masyarakat sosial. Dari relasi antar kelas itu juga yang nantinya akan melahirkan negara, politik, hukum dan sebagainya. Poinnya adalah faktor ekonomi akan menciptakan kesadaran kelas. Setiap orang pasti sudah memiliki identitas kelasnya masing-masing. Bahkan tukang parkir indomaret-pun sadar akan kelas ini. Beliau paham mana mobil yang harus dihormati mana mobil yang biasa-biasa saja. Secara jelas lagi mungkin akan terlihat di parkiran lobby senayan city, dimana yang boleh parkir disitu hanyalah motor dengan cc 500 keatas. Motor vixion Saya kalo parkir disitu pasti langsung diusir. Adanya struktur ekonomi juga menentukan tindakan dan perilaku seseorang. Secara tidak langsung, disamping itu pula terdapat semacam “deterministik”. Ya silahkan googling sendiri apa itu deterministik.
Cara hidup seseorang sebenarnya adalah determinisme ekonomi dari kehidupan sosial orang tersebut yang dilatarbelakangi faktor ekonomi. Mungkin Anda tidak menyadari bahwa lingkungan pertemanan Anda juga sebenarnya Anda pilih sesuai atau sama dengan kondisi kantong dan dompet Anda. Kendati Saya juga pernah mendengar cerita dari teman Saya, bahwa ia megenal seseorang yang memaksakan kondisi dompetnya untuk bergaul dengan lingkungan yang kondisi ekonominya diatas ia sendiri. Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Ia bergaul ke hollywings, senoparty dan dinner di rooftop menara BCA bersama teman-temannya padahal kondisi dompetnya menangis. Saya hanya berpendapat bahwa segala yang dipaksakan itu tidak baik (siap-siap diserang dah gue). Seorang Nia Ramadhani tidak mungkin sahabatnya adalah seorang pedagang asongan yang jika dia ada keluh kesah dalam hidupnya akan diceritakan ke pedagang asongan tersebut. Circle-nya pasti orang-orang yang kondisi ekonominya menyerupai atau bahkan setara dengannya. Oke kembali ke laptop. Jadi pada intinya kondisi ekonomi akan membentuk perilaku sosial, dimana perilaku sosial inilah yang menentukan manusia seperti apakah kita ini.
Saya beropini bahwa sebenarnya konteks sosial dalam perspektif yang diusulkan Marx itu adalah untuk kembali kepada sistem kehidupan pada zaman primitif / purba, dikarenakan masyarakat primitif adalah masyarakat yang sangat komunis. Lho kok gitu? Konsep negara komunis yang diimpikan Marx adalah suatu tatanan tanpa adanya suatu hak milik, dimana segala hal yang bersifat materi adalah milik bersama. Menganalisis jejak historis cukup seru bagi Saya karena hal ini relevan dengan konsep dan gagasan yang Marx paparkan. Relasi mulai lahirnya “kepemilikan”, mulailah apa yang kita kenal dengan “perbudakan”. Pemilik modal disebut “tuan” dan yang tidak memiliki modal disebut “budak” (kalau Saya nyebutnya Si-Miskin dan Si-Kaya). Fenomena ini mulai terlihat ketika sistem berburu dan meramu sudah berganti dengan sistem cocok tanam. Para tuan dan budak ini kemudian memiliki relasi yang berkembang dan kemudian tuan-tuan ini menciptakan generasi baru, yaitu generasi bangsawan yang kita kenal dengan istilah feodalisme yang berbentuk kerajaan dan dinasti.
Masuklah jejak sejarah kita dari primitif ke feodal. Kendati demikian, manusia pada akhirnya muak dengan sistem feodalisme karena menurutnya sistem itu tidak dibutuhkan mengingat yang memiliki modal-lah yang harusnya berkuasa. Lahirlah apa yang disebut dengan revolusi borjuis yang menggulingkan sistem feodal, dimana para tuan tidak menginginkan harta mereka dijarah oleh raja-raja ataupun kaisar. Sistem feodal saat itu memang hancur, namun tidak dengan kepemilikan. Lahirlah penguasa-penguasa alat produksi (borjuis). Pada tahap inilah lahir sebuah sebutan “Si-Kaya” dalam artian umum adalah kapitalis. Seiring berjalannya waktu, pada akhirnya masyarakat juga muak dengan kapitalis. Kaum proletar merasa diinjak-injak dan diperlakukan tidak adil oleh kaum borjuis, lahirlah revolusi proletar dan terbentuklah sistem sosialisme. Sosialisme yang dimaksud disini adalah adanya satu institusi yang mengatur hajat hidup orang banyak, yaitu negara. Akan tetapi, sosialisme bukanlah cita-cita Marx, melainkan komunisme-lah yang dituju oleh Marx dimana semua hal di dunia ini adalah milik bersama dan hak kepemilikan ditiadakan.
Apakah visi Marx relevan mengacu pada era kontemporer saat ini? Saya rasa tidak. Para kapitalis Saya rasa dewasa ini memegang peran yang sangat krusial dalam peradaban manusia. Terlepas konsekuensi dari keberadaannya yang melahirkan distingsi dan relasi kelas-kelas sosial yang kemudian membentuk Si-Miskin dan Si-Kaya ini. Harus Saya akui tanpa adanya kapitalis bahkan suatu negara tidak akan sustain dalam jangka waktu yang panjang. Kendati bagi Saya cita-cita Marx sangat jauh dari yang diharapkan, kita tetap dapat mengambil sesuatu dari gagasan Marx terhadap kehidupan kita saat ini, khususnya bagi para kapitalis, pemilik modal ataupun Si-Kaya ini. Dengan menekankan pada aspek “kesadaran” akan kelas tadi, Saya harap Si-Kaya ini dapat mengimplementasikan “kesadarannya” untuk tidak hanya sadar akan kelasnya, melainkan sadar untuk merangkul Si-Miskin terutama dalam masa kritis saat ini. Mau kemana-mana susah, mau buka warung disiram petugas, mau narik ojol masyarakat pada WFH, mau buka tambal ban disuruh online dan sebagainya. Inilah situasi yang sedang dihadapi oleh Si-Miskin saat ini, sangat ironi karena yang dilawan adalah perutnya sendiri ditambah kebijakan yang mungkin memberatkan sebagian Si-Miskin. Lekas sembuh Indonesia…