Refleksi diri, Pikiran

Pembunuh Nomor Satu Abad Dua Satu

Hal yang patut dicurigai bukanlah hal-hal di luar diri kita.

katakurik
2 min readJun 7, 2023

Selamat pagi folks! Bahagia rasanya bisa tidur di bawah pukul 22.00 wib semalam dan berhasil menjadi morning person pada hari ini. Saya lupa kapan terakhir kali tidur secepat itu. Memang tidak dapat dipungkiri ketika memasuki fase dewasa banyak hal-hal berubah selain pola pikir; pola tidur-pun juga. Kerap kali ketika di kantor pada sore hari tubuh sudah merasa lemas dan mengantuk, namun sesampainya di kos ketika ingin mencoba tidur, tubuh itu menjadi segar layaknya banteng karena sang matador di balik kepala nya itu mulai berpetualang melintasi dimensi 3x3 ruangan kos-kosannya — memikirkan segalanya.

Mungkin bahasa gaulnya overthinking. Tidak masalah, memang salah satu karakteristik di fase 20–30 tahun adalah ini. Nikmati saja peperangan kita dengannya, namun jangan terhanyut karenanya. Nyatanya, gejala ini tidak hanya terjadi pada Saya, tetapi juga kepada orang-orang di sekitar Saya — atau bahkan pembaca?

Melihat hal ini kerap terjadi kepada manusia membuat Saya berasumsi bahwa pembunuh nomor satu abad ini bukanlah nikotin, terorisme, paham kiri, krisis ekonomi, diabetes, Covid-19, kitab Nietzsche, ataupun N-methyl-1-phenylpropan-2-amine. Dewasa ini, tidak jarang Saya menyaksikan bagaimana manusia terbunuh akibat pikirannya sendiri.

Ketika dihadapkan dengan dua kenyataan yang belum terjadi, manusia memiliki tendensi untuk meyakini yang buruk-lah yang akan terjadi. Mengapa demikian? Saya rasa karena manusia memang di desain untuk lebih mesra dengan masalah ketimbang kebahagiaan. Analisa tololnya adalah ketika Anda tertawa. Berapa lama Anda tertawa dan merasakan hormon kebahagiaan itu? Mungkin tidak sampai setengah jam. Akan tetapi, ketika suatu masalah menimpa Anda, berapa lama Anda bisa terhanyut memikirkannya? Mungkin seharian, satu minggu, bahkan satu bulan.

“Hidup kita adalah kumpulan-kumpulan masalah yang diselingi kebahagiaan.” — Ferry Irwandi

Agaknya Saya sepakat dengan bang Ferry. Bagi Saya, tahap awal pengejaran akan The meaning of human life bukanlah dengan membaca The Symposium karangan Plato, atau mendalami The Myth of Sisyphus-nya Albert Camus. Akan tetapi, sesederhana menyadari kenyataan bahwa hidup adalah kumpulan masalah yang diselingi kebahagiaan. Tidak jarang Saya menyaksikan manusia-manusia yang mengatakan, “Kenapa hal ini terjadi kepada Saya?”, “Kenapa hidup Saya selalu bermasalah?”, dsb. padahal memang hidup manusia dirancang seperti demikian.

Alat untuk menetralisir sistem seperti ini adalah pikiran kita sendiri. Ia tak terlihat, namun 100% keputusan yang kita buat berdasarkan instrumen ini. Bagaimana dengan emosi? Saya berposisi bahwa pikiran memengaruhi emosi, bukan sebaliknya. Ah mungkin topik ini akan Saya bawakan di lain kesempatan. Akan tetapi, perlu digarisbawahi juga bahwa pikiran ini layaknya pisau bermata dua. Dewasa ini, alih-alih ia menetralisir hidup manusia, kebanyakan malah terbunuh akibat pikirannya sendiri. Bagaimana dengan Anda?

--

--

katakurik

Digital Creative Enthusiast | Bachelor of Philosophy | Digital Marketer