Sosial, Filsafat
Paradigma
Pernahkah sobat mempertanyakan kebenaran? Mengapa sesuatu bisa dikategorikan sebagai baik, mulia, sopan, beretika, dan hal-hal positif lainnya sementara yang lain tidak? Jika Saya persingkat, maka pertanyaan inti saya; dari mana kebenaran itu berasal? Mayoritas menganggap mengambil pendidikan formal adalah hal yang mulia ketimbang tidak. Mayoritas menganggap orang yang beragama sebagai orang yang normal dan para ateis adalah orang yang abnormal. Anggapan-anggapan inilah yang dinamakan “paradigma”.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak kecil kita telah disodomi oleh ideologi-ideologi yang bertujuan untuk membentuk kita menjadi manusia yang patuh terhadap kekuasaan. Penyusupan ideologi-ideologi tersebut kemudian memasuki sisi ketidaksadaran kita (subconcious), dan kemudian membentuk manusia seperti apakah kita ini. Kita dibentuk seolah-olah melakukan segala sesuatunya sesuai dengan kehendak bebas kita yang nyatanya tidak. Semua sudah di program sejak kita masih menghisap puting susu sang ibu.
Berbicara mengenai kebenaran merupakan topik yang sangat sensitif. Segala konflik, kekerasan, dan peperangan saat ini bukanlah pertikaian antara kebaikan melawan keburukan melainkan kebenaran melawan kebenaran. Russia tidak menginvasi Ukraina tanpa adanya kepercayaan terhadap paradigma kebenaran yang mereka pegang. Ukraina juga tidak memutuskan bergabung dengan NATO tanpa paradigma kebenaran yang mereka yang yakini. Ini adalah kebenaran vs kebenaran, tidak dapat dipungkiri. Begitupun semua persinggungan yang ada di kehidupan kita.
Bagaimana dengan agama? Kerap kali ketika bertemu orang baru dan berkenalan, saya sebenarnya agak keberatan jika dilontarkan pertanyaan kuliah dan jurusan. Hal tersebut karena saya sudah tahu pertanyaan berikutnya yang akan mereka lontarkan. “Oh keren anak filsafat UI. Tapi masih beragama kan?” Saya bukannya tersinggung ditanyakan pertanyaan demikian, namun lebih kepada membangkitkan rasa penasaran saya; dari mana ia mendapat paradigma bahwa filsafat mengajarkan seseorang untuk tidak memercayai Tuhan?
Agama merupakan mesin pembentuk paradigma terbesar saat ini. Segalanya jadi termotivasi berkatnya, segalanya juga menjadi terhambat karenanya. Cukup ironi namun itulah letak keseruannya. Saya-pun masih memegang teguh keimanan saya akan Tuhan, sebab Saya masih membutuhkannya. Kendati beragama, namun mempertanyakan paradigma kebenaran agamanya sendiri bukanlah perbuatan kriminal kan?
Hampir semua aspek di hidup Saya berkaitan dengan agama. Bahkan, petinggi di kantor Saya pun ketika menasihati karyawannya juga masih gemar untuk membawa nuansa-nuansa warisan Abad Pertengahan tersebut. Tuhan maha baik, Tuhan maha adil, Tuhan maha pengasih. Mantra itu sudah sangat tidak asing lagi di telinga saya. Namun, terkadang saya bertanya “maha baik”, “maha adil,” dan “maha pengasih” yang seperti apa? Bagaimana dengan mereka yang sepanjang hidupnya hanya berbuat kebaikan terhadap sesama namun tidak beragama. Apakah mereka tetap akan dimasukkan ke neraka?
Ketika sedang banyak project, para petinggi di kantor saya juga kembali melantunkan lagu-lagu rohaniahnya demi memotivasi karyawannya. “Ingat teman-teman, Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada seseorang melebihi batas kemampuan orang tersebut.” Saya terhentak sejanak. Berpikir, dan merenung. Bagaimana bisa seseorang mengatakan hal senaif itu?
Jika memang paradigma bahwa “Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada seseorang melebihi kemampuan orang tersebut” adalah sebuah kebenaran, lantas bagaimana dengan mereka yang bunuh diri?