Refleksi diri, 25 tahun

Moksa

Manusia yang jarang menyediakan ruang untuk dirinya sendiri.

katakurik
2 min readAug 17, 2024
Dias Putri

Rehat sejenak. Semudah untuk diungkapkan, terlampau sulit untuk dilakukan. Iklan rokok yang ku lihat tengah malam melalui televisi tabung pada 2004 menyadarkanku betapa cepatnya waktu berlalu. Entah sudah berapa banyak permasalahan yang kuhadapi, sudah berapa banyak katastrofe yang kulalui. Ya, untungnya, hidup harus tetap berjalan, seperti kata Bernadya.

Menginjak usia seperempat abad memang sedang bahagia-bahagianya bagi sebagian orang. Berpenghasilan sendiri, belum menikah, belum memiliki tanggungan, bebas, ah, dambaan sekali. Tetapi, mungkin sebaliknya bagi sebagian. Ruwet sekali hidup ini, aku tidak bahagia, bagaimana aku hidup sampai akhir bulan, duh punya atasan toxic, anjing besok Senin, dan sebagainya. Bangun pagi sikat gigi, pulang malam gosok gigi selama bertahun-tahun hanya untuk membantu orang lain mewujudkan mimpi mereka memanglah brengsek. Warna-warni bagai pelangi, itulah permasalahan setiap manusia seperempat abad ini.

“Lack of space.”

Kurangnya ruang untuk diri sendiri mungkin menjadi salah satu mengapa hidup ini menjadi terasa ruwet untuk dijalani. Ditambah, kemajuan teknologi digital yang membuat kita menjadi terburu-buru dengan hidup. Padahal, jalan kaki sambil merokok juga tidak ada salahnya. Mengambil cuti untuk naik gunung, dan menghirup udara segar juga tidak ada salahnya.

Asumsi liar ku berkata; pada akhirnya, tujuan hidup manusia adalah moksa (kebebasan & kemerdekaan) entah jalan apa dan mana yang kita tempuh. Kuliah agar terbebas dari kebodohan, bekerja 9–5 agar terbebas dari kemiskinan, berbisnis agar terbebas dari kapitalis, dan mencopet agar terbebas dari kelaparan. Apa yang kita lakukan mungkin berbeda, namun output-nya sama — moksa.

Hanya saja, jalan untuk mencapai kebebasan pasti penuh kerikil, berdebu, dan terjal. Terkadang, ada saja hal buruk terjadi di luar ekspektasi yang kita dambakan. Meskipun kita paham betul dengan prinsip stoik — tentang dikotomi kendali. Namun, kepala tetap saja sakit menerima kenyataan itu karena memang kita jarang menyediakan ruang untuk diri sendiri, untuk berefleksi. Manusia modern memang memiliki tendensi untuk selalu menyimpulkan segala sesuatunya dengan cepat, entah mengapa.

“We will never be at this age again. Do what makes you happy. If it’s makes you happy, it’s not a waste of time.”

Letih rasanya berada di kota ini. Polusi, bising, dan kemacetan yang kemudian melahirkan stres. Terkadang, ada saja pemikiran menggelitik yang berkata, “Sepertinya lebih menyenangkan beternak Sapi di kaki gunung Sumbing di daerah Wonosobo ketimbang membuka macbook di salah satu Coffee Shop Jakarta.” Ah, baiklah September aku akan naik gunung lagi. Hahaha, terima kasih sudah membaca sampai paragraf ini. Hanya ingin mencurahkan sedikit perasaan, dan kembali menulis. Selamat malam:)

--

--

katakurik

Digital Creative Enthusiast | Bachelor of Philosophy | Digital Marketer