Filsafat

Melihat Filsafat dalam 4 Menit

Membumikan si ilmu langit.

katakurik
4 min readOct 27, 2024
The New Yorker

Menulis topik yang merupakan cikal bakal katakurik menjadi apik. Yup, filsafat membuat saya menulis. Jika kalian dengan giat melakukan penelusuran hingga ke dasar profil, maka kalian akan menemukan banyak tulisan-tulisan gua yang bertemakan filsafat. Tidak dipungkiri, akhir-akhir ini gua memang jarang menulis filsafat sebab lingkungan memengaruhi pikiran, dan pikiran menentukan tindakan.

Dulu, gua dikelilingi oleh akademisi kampus. Topik dan bahasan di tongkrongan-pun dominan membahas mata kuliah, UKM, tokoh, sejarah, dan sebagainya. Sementara, saat ini mungkin lebih sering membahas tren, konten, media sosial, digital, kreatif, dan kawan-kawan sebab memang lingkungan kerja gua berada di industri tersebut.

Berangkat dari itu, gua kira menyenangkan bisa bernostalgia sedikit ke masa muda saat di kampus, hehe. Gua kuliah di Universitas Indonesia dengan mengambil jurusan filsafat periode 2018–2022. Bukan mahasiswa cerdas dan ambis tentunya, gua lebih banyak menghabiskan waktu di futsal dan kansas (kantin sastra).

Kurang lebih empat tahun gua belajar filsafat, dan tidak sedikit teman yang berkata, “Wah Rocky Gerung”, “Dian Sastro pernak main gak?”, “Ateis lu sekarang?”, dan sebagainya. Bahkan, ada salah satu kawan yang berkata, “Keren. Gua mungkin jadi gila kalo ambil studi lo, ilmu langit banget.” Yup, ‘ilmu langit’ katanya. Ada yang sependapat, ada juga yang tidak.

Filsafat di letakkan dalam koridor ‘ilmu langit’ mungkin karena beberapa faktor; bahasannya yang abstrak, mempertanyakan dan bukan menyelesaikan, mengawang, dan sebagainya. Dimana sebenernya gua kira studi ini sangat menyenangkan. Tidak menghafal seperti sejarah, menghitung seperti matematika, atau mengukur seperti arsitek.

Filsafat lebih kepada kegiatan ngalor-ngidul bersama kawan dan dosen, layaknya obrolan pria di warkop pukul 12 malam lebih sedikit. Di awal, gua sempat singgung bahwa tulisan-tulisan gua saat ini sudah jarang membawakan tema filsafat sebab babak hidup yang berbeda, menuntun pada lingkungan yang berbeda dimana lingungan memengaruhi pikiran dan pikiran menentukan tulisan saya. Filsafat juga demikian.

Filsafat terdiri dari babak-babak yang kemudian diklasifikasikan menjadi empat zaman (Yunani Kuno, abad pertengahan, modern, dan post-modern). Seperti halnya kehidupan manusia, fokus dan bahasan tiap zamannya tentu berbeda.

Yunani Kuno, seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Epictetus, Anaximander, dan Diogenes. Mereka fokus pada mempertanyakan alam semesta, dewa-dewa, dan mitos setempat. Pada awalnya, manusia kala itu memahami bahwa petir terjadi akibat dewa Zeus sedang marah, dan bukan gesekan yang terjadi pada awan. Kebenaran-kebenaran seperti itulah yang menjadi fokus diskusi oleh para filosof Yunani Kuno, yang kemudian menjadi cikal bakal sains. Pada Abad pertengahan, modern, dan post-modern, tentu memuat bahasan yang berbeda lagi.

Jika di agency ada divisi kreatif (graphic design, copywriting, social media specialist), divisi akun (account executive, KOL specialist, project manager, dan digital strategist), dan divisi keuangan, maka di filsafat juga ada penjurusan spesifiknya — Ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Yup, jika tidak salah ingat ada 3 fokus bahasan filsafat tersebut.

Ontologi fokus bergibah tentang hakikat (tuhan, metafisika, eksistensi, esensi, dan identitas), epistemologi berfokus pada teori pengetahuan, dan aksiologi berfokus pada nilai (etika, moral, dan estetika). Misalnya, ada teman lo yang bertanya, “Kenapa hidup gak adil ya buat gue?”, maka itu merupakan bagian dari aksiologi. Atau, ada anak edgy yang bertanya, “Bro, menurut lo Tuhan ada gak? Kalo ada bisa gak dia nyiptain satu batu besar yang bahkan dia sendiri gak bisa angkat batu itu.” Terus lo jawab, “bacot”. Nah, itu merupakan dikusi ontologi.

Sementara itu, epistemologi obrolannya fokus pada teori pengetahuan. Misalnya, gua ambil contoh Michel Foucault. Dia adalah filsuf post-modern (1926–1984) dari Perancis. Dia bilang kalau “knowledge is power”, jadi pengetahuan adalah kekuasaan, kurang lebih gitu ces. Maksudnya gimana?

Jadi, selama ini kan yang jadi pondasi kebenaran manusia itu pengetahuan ya ces, 1+1=2 adalah kebenaran, beribadah adalah kebenaran, jadi PNS adalah kebenaran, dan sebagainya. Foucault menganggap bahwa apa yang kita anggap benar saat ini tidak lain adalah konstruksi dari para penguasa, dengan tujuan untuk ‘melanggengkan’ kekuasaan mereka.

Oleh karena itu, buku-buku yang kita pelajari sewaktu di pendidikan tidak lain adalah buku-buku yang diperbolehkan oleh pemerintah — bentuk kekuasaannya adalah pemerintah.

Contoh lain, menjadi PNS adalah suatu kebanggaan dan menjadi kebenaran karena orang tua kita menyatakan demikian, dan dikatakan berulang-ulang di meja makan — bentuk kekuasannya adalah keluarga.

TikTok, Instagram, Facebook, bahkan Medium juga demikian. Mereka kerap berulang menampilkan konten-konten yang memang hanya relevan untuk kita konsumsi. Jika tidak, maka mereka akan mati (tidak langgeng) — bentuk kekuasaannya adalah algoritma.

Intinya, kekuasaan melahirkan pengetahuan, dan pengetahuan melahirkan kebenaran. Kebenaran inilah yang melanggengkan kekuasaan mereka kata Foucault. Anjay, Marxis abis.

Anyway, sebenarnya filsafat itu menurut gua gak selangit itu. Tergantung pilot sih. Gak sedikit paper gua pas kuliah dapat nilai ok padahal bahasa dan diksi yang gua gunakan kurang lebih seperti ini — gak ada akademis-akademisnya, haha.

Jadi, buat kalian yang pengen ambil S1, atau S2 filsafat, atau belajar filsafat, gak perlu setakut itu. Terkadang, helicopter view menjadi tools yang dibutuhkan saat ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di keseharian kita, dan filsafat menyediakan hal tersebut. Selamat pagi, dan hadeh, besok Senin.

--

--

katakurik
katakurik

Written by katakurik

Digital Creative Enthusiast | Bachelor of Philosophy | Digital Marketer

Responses (1)