“Illusion is no longer possible, because the real is no longer possible.” — J. Baudrillard
Jean Baudrillard adalah seorang filsuf yang berasal dari negara pemenang Piala Dunia 2018, Perancis. Ia adalah seorang filsuf aliran post-strukturalis bersama beberapa tokoh besar didalamnya seperti Derrida, Deleuze, Guattari dan Foucault. Pemikiran Baudrillard sangat dipengaruhi oleh perspektif Marxian yang menitikberatkan pada persoalan ekonomi. Marx dan sebagian besar Marxis tradisional memfokuskan persoalan pada aspek produksi. Baudrillard muncul dengan mengkritik gagasan Marx yang menurutnya sudah tidak equivalen apabila dikaitkan dengan realitas pada masa kini (kontemporer). Baik Baudrillard dan Marx adalah orang yang sama-sama mengkritik kapitalis, namun titik berangkat dan point of view keduanya adalah berbeda. Bagi Baudrillard, dibawah era kapitalis lanjut, mode of production kini telah digantikan oleh mode of consumption, sehingga segala aspek kehidupan manusia tidak lebih hanya sekadar objek.
Dewasa ini, Baudrillard berpendapat bahwa sebenarnya kita telah menjadi objek-objek, bukan subjek-subjek. Analaogi yang dapat kita gunakan adalah sebuah minimarket (indomaret, alfamart, alfamidi, hypermart, ranch market dan sebagainya) yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari dan pada umumnya beroperasi 24 jam non-stop (sebelum pandemi). Ketika kita berbelanja secara tidak sadar sebenarnya kita telah menjadi objek mereka (produk-produk), dimana segala aspek produk disusun sedemikian rupa dan secantik mungkin penataannya agar kita tertarik untuk membelinya. Alhasil, apabila yang semula kita hanya ingin membeli sabun, kita jadi tertarik untuk membeli indomie, goodtime, cheetos, silverqueen, ice cream, kiranti dan sebagainya. Semua ini tidak lain adalah manipulasi tanda yang dimainkan oleh kapitalisme, dimana secara tidak sadar mereka telah “mendikte” pola konsumsi dan mempermainkan hasrat manusia. Di mata kapitalis, Anda itu tidaklah relevan dan penting, namun isi dompet Anda-lah yang penting. Oleh karena itu, pada zaman ini kita memang diperlihatkan seolah-olah kita ini bebas dan berkuasa untuk berbelanja. Akan tetapi, sebenarnya kita diatur dan digerakkan sehingga dapat disimpulkan bahwa kita adalah objek, dimana mereka (kapitalis) adalah subjek.
Ketika kita mengonsumsi objek, secara tidak langsung kita sedang mendefinisikan diri. Misalnya makanan cepat saji mcdonald yang dikonsumi oleh pekerja kantoran berdasi di Amerika Serikat. Mereka mendefinisikan mereka sebagai orang white. Apabila di Indonesia produk yang biasanya digunakan untuk mendefinisikan diri salah satunya adalah produk tas yang digunakan. Tas apa yang Anda kenakan mendefinisikan siapa Anda. Dalam konteks ini, yang ingin ditekankan Baudrillard adalah bahwa kita berbicara “merek” dan bukan “kegunaan”-nya (kebutuhan). Seorang ibu sosialita, katakanlah menggunakan tas Hermes. Hal tersebut secara tidak langsung ia telah menunjukkan kasta / status sosialnya. Hermes tadi adalah semacam “kode”. Dengan demikian, sebenarnya kita tidaklah bebas dalam mengonsumsi. Selalu ada unsur “aduh, kok Saya tidak menggunakan smartphone apple yaa”, atau “aduh, jam tangan Saya kenapa tidak Patek Philippe yaa” dan sebagainya. Ide kebutuhan semacam ini telah diciptakan oleh kapitalis sejak masa transisi dari modern-kontemporer
Zaman ini, masyarakat cenderung mengonsumsi suatu barang bukan karena kebutuhan, melainkan tekanan oleh “kode” tadi, dimana cara kerja “kode” itu sendiri tidak terlihat. Berbeda mungkin konteksnya dengan orang Amerika Serikat tadi, orang Indonesia mungkin memaknai bahwa memakan mcdonald itu berarti kita adalah anak gaul. Saat ini, Baudrillard menekankan bahwa telah terjadinya pergeseran atas makna objek. Makna suatu objek saat ini bukan lagi berdasarkan atas “nilai guna”, melainkan “tanda”. Saya puas menggunakan produk Hermes bukan karena fiturnya yang mungkin lebih aman dibanding produk tas lain, melainkan Saya puas telah menunjukkan identitas dan status sosial atas diri Saya. Secara implisit disini terlihat bahwa gagasan strukturalisme Baudrillard menunjukkan sesuatu yang tidak terlihat, yakni adanya suatu “komunikasi” di dalam “konsumsi” itu sendiri. Dengan kata lain, ketika kita membeli suatu produk, hal itu juga berarti kita sedang mengkomunikasikan status sosial kita kepada orang lain. Si-miskin dan Si-kaya terbentuk hanya melalui apa yang mereka konsumsi, dimana Saya sendiri berpendapat hal ini cukup lucu dan tentunya agak dangkal apabila menyimpulkan “siapa” dia hanya berdasarkan apa yang ia konsumsi. Namun, demikianlah sistem dunia kita yang tercinta bekerja saat ini.
Baudrillard juga menyinggung persoalan akan simulasi / simulacra. Perlu dipahami bahwa simulasi disini bukan hanya “All that’s real becomes simulations” atau realitas subjektif yang terdistorsi oleh counterfeit dalam copy over copy yang diwakili oleh simbol dan tanda yang kemudian menyeruak menjadi realitas baru. Pada simulasi ini, bahkan bahasa-pun merupakan simulasi. Seperti yang disebutkan oleh Roland Barthes, bahasa merupakan subjektivitas yang terinstitusikan. Dalam sudut pandang baudrillard, bahasa sebagai simulasi merupakan arena yang kita hidupi untuk memberi makna mengenai dunia. Maksudnya adalah seperti ini :
Manusia → Simulasi → Bahasa → Realitas
Dalam mengonstruksi realitas, manusia membuat suatu “alat” bernama bahasa, dimana bahasa ini merupakan suatu subjektivitas yang terinstitusikan. Dengan kata lain bahasa merupakan “simulasi” yang dibuat oleh manusia untuk mengkonstruksi realitas. Dengan demikian, pemahaman akan simulasi / simulacra agaknya harus dapat kita pahami secara mendalam agar tidak terjadi mispersepsi. Hal tersebut dikarenakan pemahaman akan simulasi ala Baudrillard tidak hanya melihat “realitas buatannya” belaka, melainkan juga melihat “sesuatu” dibaliknya.
Bahasa dan tanda dalam simulasi seolah-olah menjadi realitas yang sebenarnya. Kendati sesungguhnya, simulasi merupakan realitas palsu / semu yang bereferensi pada dirinya sendiri (simulacrum of simulacrum). Itulah yang menjadi penyebab bahwa simulasi dalam pengertian ini menjadi realitas yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan karena batasan antara yang real dan imajiner sudah tidak ada lagi. Contoh kasusnya adalah ketika suatu hari Saya sedang nongkrong bersama teman Saya di warkop. Kami berbincang-bincang cukup lama dan topik yang dibahas juga beraneka ragam. Mulai dari membicarakan persoalan kuliah, masa depan, bumi bulat / datar, tatanan dunia hingga membicarakan spongebob. Ketika berbincang, Saya sempat salah sebut bahwa yang bintang laut yang berwarna pink pada kartun spongebob adalah spongebob itu sendiri. Teman Saya langsung membenarkan Saya dengan nada yang cukup keras bahwa pernyataan Saya adalah keliru. Saya kemudian meng-iyakan argumennya karena memang benar demikian. Akan tetapi, setelah mendalami filsafat, pikiran Saya menjadi sedikit terbuka tentang konteks benar / salah. Padahal topik yang kami bicarakan adalah spongebob, dimana hal tersebut merupakan simulasi buatan manusia (terdapat sutradara, kru film dan sebagainya yang mengatur). Realitasnya-pun juga buatan, namun ukuran benar/ salah masih berlaku kendati hal tersebut bersifat semu. Bahkan, apabila Saya tetap mempertahankan argumentasi Saya bahwa spongebob adalah bintang laut berwarna pink, maka Saya optimis akan dipukuli oleh seisi warkop. Dengan demikian, tidak naif apabila dikatakan bahwa ternyata simulasi bukan hanya sebagai realitas pemenuh hasrat manusia, tetapi juga bertujuan untuk mengendalikan pikiran manusia.
Berangkat dari gagasan Baudrillard tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat kita ketahui mengenai simulasi tersebut. Simulasi merupakan konstruksi pikiran imajiner terhadap sebuah realitas, tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial. Maksudnya adalah simulasi itu merupakan semacam “instrumen” yang mampu merubah hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkrit, begitupun sebaliknya. Beberapa instrumen yang Saya maksudkan adalah seperti televisi, video games, komputer, internet, koran, majalah dan bahkan lukisan. Secara tidak sadar hal-hal tersebut mendistorsi alam pikiran kita.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa simulasi mengendalikan manusia, dimaksudkan untuk mengontrol manusia dengan cara menjebak kita untuk percaya bahwa simulasi itu nyata. Simulasi dibuat dan dikonstruksi untuk membuat manusia menjadi tergantung kepadanya dan tidak dapat hidup tanpanya. Dapatkah hari ini kita bahagia tanpa simulasi yang diberikan oleh ponsel, televisi, internet atau bahkan netflix? Rasanya sudah mustahil jikalau kita dapat hidup tanpa hal ihwal tersebut, kita akan menjadi manusia non-kode seperti yang dikatakan oleh Deleuze dan Guattari.
Enigma manusia merupakan sesuatu yang menarik bagi para filsuf, khususnya dalam konteks epiesteme filsafat kontemporer. Deleuze dan Guattari melemparkan pertanyaan “mengapa manusia menginginkan represi atas dirinya sendiri?” Begitupun dengan baudrillard: “Mengapa manusia lebih memilih simulasi ketimbang merengkuh sifat-sifat ilusif pada dunia?” Pertanyaan ini sekaligus menjadi kritik yang cukup paradoks bagi Baudrillard. Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya jawabannya pasti akan subjektif dan variatif. Menanggapi pertanyaan tersebut, Baudrillard berpendapat bahwa dunia riil itu penuh dengan kemiskinan, sakit, kejahatan, kesedihan, kesengsaraan, kegusaran dan sebagainya. Sedangkan dunia simulasi (seperti disney, cartoon network dan sebagainya) menawarkan kecantikan, kejayaan, kemewahan, status sosial, kenikmatan, gairah dan sebagainya. Media sosial seperti facebook, twitter dan instagram seseorang sebagian besar isinya adalah kebahagiaan. Sangat jarang seseorang menampilkan sisi kelam hidupnya, seperti permasalahan ekonomi, rumah tangga atau keburukan yang dilakukannya dalam media sosial mereka. Itulah contoh dunia simulasi dan agaknya cukup logis untuk menjawab “mengapa manusia lebih memilih simulasi ketimbang dunia nyata”, mengingat kembali hakikat hidup manusia selalu berorientasi pada hal-hal kenikmatan, kebahagiaan dan kesenangan.
Sumber Rujukan
Haryatmoko, 2006. Membongkar Rezim kepastian. Yogyakarta : Penerbit PT Kansius
Kuliah online Jean Baudrillard : simulacrum oleh Dr. Fahruddin Faiz melalui chanel Youtube “MJS” yang diakses pada 29 Maret 2020
Paper Jean Baudrillard oleh Albertus Harsawibawa yang diberikan saat kelas Filsafat Kontemporer pada 8 Mei 2020