“Bagaikan penari cantik yang menjaga keseimbangan di bibir jurang” — Friedrich Nietzsche
Beberapa dari kita mungkin sering mendengar kebebasan namun kerap sukar mendefinisikannya. Sebagian mendefiniskan kebebasan sebagai sesuatu yang tidak tidak terikat, independen, kebahagiaan, petaka dan sebagainya. Tidaklah keliru jawaban saudara. Namun, Saya memandang kebebasan lebih dekat kepada mitos. Saya pikir kebebasan adalah barang abstrak yang saat ini hampir tidak seorangpun berhasil meraihnya. Ia bagaikan penari cantik yang menjaga keseimbangan di bibir jurang bagi Nietzsche.
Kebebasan yang ingin Saya bahas bukanlah kebebasan seperti dalam teori politik atau hukum, dimana kebebasan diartikan menjadi dua poin : “bebas dari…” dan “bebas untuk…”. Bukan pula seperti dalam istilah ekonomi atau bisnis akan kebebasan finansial. Bukan seperti itu saudara. Akan tetapi, kebebasan yang ingin Saya bahas adalah kebebasan secara hakikat yang tidak membutuhkan variabel lain di dalamnya. Kebebasan secara independen yang berdiri sendiri. Apakah itu mungkin? Saya cukup skeptis terhadapnya.
Tidak jarang dari kita yang mungkin telah menjustifikasi bahwa diri kita adalah seutuh-utuhnya manusia yang bebas. Beberapa mungkin mengatakannya dikarenakan motif tertentu. Sebagian berargumentasi bahwa dirinya bebas karena sudah hidup berkecukupan, sebagian membawanya ke persoalan kehendak, sebagian ada yang mengembalikannya kepada kitab suci dan seterusnya. Apakah itu salah? Tentu tidak saudara. Namun, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dalam memandang “kebebasan” ini.
Tidak ada yang benar-benar bebas. Saya setuju dengan statement tersebut. Saya setuju bahwa sebebas-bebasnya seseorang, dia tidak akan bebas selama masih ada manusia di sampingnya. Saya berpendapat bahwa yang benar-benar bebas adalah tarzan yang hidup di hutan dan mungkin kaum Stoic beberapa ribu tahun yang lalu ketika Alexander Agung mendatangi Diogenes.
Mari berpikir. Adakah tindakan yang selama ini kita lakukan tidak bersinggungan dengan faktor eksternal di luar diri kita? Gampangnya seperti ini saudara, mengapa saudara memakai busana? Yaa karena itu normal, tidak etis apabila kita berjalan-jalan tanpa menggunakan busana. Anda gila jika berjalan-jalan tanpa busana. Itu tandanya kita tidak menghormati orang lain. Ini dia.
“Hell is other people.” — Sartre
Orang lain adalah neraka bagi ku. Begitu kata Jean Paul Sartre, seorang filosof post-modern asal Perancis. Sadar atau tidak, segala tindak-tanduk aktivitas dan perilaku kita dibentuk atas dasar orang lain. Wacana normal dan gila ala Foucault juga sudah Saya bahas di tulisan sebelumnya (knowledge is power). Konsepsi pemikiran kita akan sesuatu juga tidak luput dari faktor orang lain. Saya berkuliah karena ada orang lain. Saudara beragama karena ada orang lain. Baim Wong membuat konten karena ada orang lain. Pakcul bekerja di PK karena ada orang lain (bisa keluarga, bisa Jeff). Masih banyak contoh konkrit yang lain.
Keberadaaan seseorang membentuk orang lain. Segala sisi kehidupan manusia dipertimbangkan berdasarkan asas ini. Namun, ada satu sisi yang rasanya berlawanan dengannya. Keberadaan orang lain membentuk konsepsi namun merepresi kebebasan. Itulah sisi yang berlawanan dari keberadaan orang lain. Manusia tidak dapat hidup tanpa adanya orang lain, tetapi orang lain inilah yang malah menegasikan kebebasan. Apakah jika saudara hidup sendiri di dunia ini ketika jalan-jalan masih menggunakan busana? Apakah pandangan saudara akan tetap sama jika tidak ada orang lain? Dengan demikian, Saya rasa kebebasan kita tidak lebih sekadar fabrikasi dari keberadaan orang lain. Dengan demikian, Saya rasa pertanyaan akan kebebasan masih akan eksis selama ratusan tahun kedepan.