Pengembangan diri, karir

Ironi Konsep Bekerja 9–5

Tentang menukar sesuatu yang terbatas dengan yang tidak.

katakurik

--

source: Affiliation

Senang bisa kembali. Depok, hujan, kopi, dan rokok sambil menulis di balkon rumah tante bukanlah ide yang buruk untuk menghabiskan Kamis sore. Ah, tempat ini juga merupakan saksi bisu penerbitan artikel medium pertama Saya pada 2021 lalu.

Lebih dari 2 tahun lamanya sejak saya memulai karir saya di dunia profesional. Idealis Saya pada akhir semester perkuliahan 2 tahun lalu memang agak naif dan tidak memiliki visi — apapun dan dimanapun pekerjaan, perusahaan, dan lokasinya akan Saya ambil kendati di Suriah sekalipun. Akan tetapi, memasuki tahun kedua bekerja sebagai pekerja profesional (9 to 5 job) mulai membuat Saya berefleksi bahwa kelak, Saya tidak akan merekomendasikan anak Saya untuk mengambil 9–5 job.

Titik balik pemikiran ini Saya dapatkan ketika sedang sendiri di kantor. Waktu menunjukkan pukul 17.21 WIB, dimana rekan-rekan sudah pulang terlebih dahulu. Hening, dan menyisakan dinginnya suhu ruangan yang berasal dari AC bermerk Daikin itu. Saya melihat ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan macetnya kota Jakarta diselingi rintik hujan bak butiran kristal yang turun perlahan secara melankolis. Saya memandang ke arah bawah, banyaknya orang mengantri di atas kendaraan mereka untuk pulang. Sejenak muncul pertanyaan, “apakah hidup seperti ini yang Saya inginkan?

Cukup, namun tidak berdampak. Mungkin sebagian akan percaya bahwa bahan bakar untuk menjadi manusia yang berdampak adalah uang. Sulit rasanya saat ini untuk menjadi demikian tanpa adanya instrumen tersebut. Jika uang berkorelasi dengan dampak, maka logika dasarnya adalah semakin banyak uang maka akan semakin berdampak juga hidup seorang manusia. Entah akan berdampak positif atau negatif, itu adalah kuasa kita untuk menentukan apakah kita seorang Bruce Wayne atau Pablo Escobar.

Melakukan pekerjaan 9–5 sebenarnya bukanlah hal yang buruk. Hal ini baru akan menjadi buruk jika seluruh waktu hidup yang kita punya kita habiskan untuknya. Akan tetapi, jika memang visi hidup Anda adalah menjadi “cukup”, Saya rasa Anda tidak perlu mendengarkan perkataan Timothy Ronald.

Jika bermain sedikit matematika anak SD, untuk mampu membeli rumah seharga Rp1 miliar dengan gaji Saya saat ini, Saya membutuhkan waktu kurang lebih delapan tahun untuk dapat membelinya dengan catatan, Saya tidak boleh memakan uang tersebut sepeser-pun. Sementara, ada seseorang yang mampu memberikan 19.271 bantuan untuk operasi katarak di Indonesia bagi mereka yang tidak mampu, dimana rata-rata biaya operasi katarak di Indonesia mencapai Rp6 juta — Rp16 juta. Anggap saja Rp5 juta untuk setiap operasinya, maka orang tersebut sudah menyumbangkan Rp9,6 miliar uangnya dengan cuma-cuma layaknya abu rokok yang Saya buang ke asbak saat ini. Itulah scope dampak yang Saya cita-citakan.

Banyak manusia yang ingin berdampak namun belum sadar bahwa hidup mereka terbatas oleh waktu. Dengan melakukan pekerjaan 9–5 untuk orang lain, mereka menukarkan sesuatu yang terbatas (waktu) dengan yang tidak terbatas (uang). Peredaran uang tidaklah terbatas, berbeda dengan waktu yang kita miliki. Bank sentral hampir setiap hari mencetak uang sementara umur manusia tidak bisa dicetak untuk diperpanjang. Dengan demikian, jika visi seorang manusia adalah berdampak besar, maka 9–5 bukanlah jawabannya. Selamat sore…

--

--

katakurik

Digital Creative Enthusiast | Bachelor of Philosophy | Digital Marketer