Filsafat, Refleksi Diri
Hierarki Nilai
Cara mudah untuk memahami diri adalah dengan memahami apa yang kita anggap bernilai.
Tulisan ini merupakan -fiktif belaka apabila ada kesamaan tokoh- kajian singkat filosofis yang saya adopsi dalam kehidupan sehari-hari. Sewindu rasanya tidak menulis topik filsafat sejak Nawal El Saadawi membuat saya rindu akannya. Kendati identitas saya sebagai mahasiswa filsafat telah almarhum, namun mengamalkan sedikit ilmu yang saya dapatkan merupakan salah satu kegiatan yang saya anggap bernilai.
Berbicara mengenai nilai, izinkan saya bernostalgia sedikit terhadap apa yang saya dapatkan pada semester 3 lalu — atau 5 saya lupa. Kala itu, saya menghadiri kelas etika. Ya, jika salah satu pembaca mendalami, mahasiswa, atau bahkan merupakan alumni filsafat, maka klasifikasi penjurusan filsafat terbagi menjadi tiga; ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Etika tergolong kedalam aksiologi — sebuah disiplin filsafat yang memfokuskan bahasannya terhadap etika dan estetika. Pada intinya, kajian aksiologi adalah kajian filosofis akan nilai.
Sore itu, terdapat satu filosof yang menjadi topik pembahasan oleh dosen saya. Ia adalah Max Scholer; seorang filosof modern berkebangsaan Jerman, dimana salah satu gagasan besarnya adalah tentang Hierarki Nilai. Oh ya, untuk mengingat materi, saya juga sedikit banyak me-recall ingatan dengan mempelajari Max Scheler dalam Ngaji Filsafat bersama Dr. Fahruddin Faiz. Jika anda membayangkan filsafat sebagai bahasan berat, tidak relevan, dan abstrak, maka anda berada di tempat yang tepat.
Ok, nilai. Nilai merupakan sebuah pandangan / ide tentang sesuatu yang kita anggap baik, layak, indah, dan kita inginkan. Sesuatu yang selalu kita “ideal”-kan, dan biasanya nilai itu diasosiasikan terhadap sesuatu. Cirinya; menentukan berharga tidaknya sesuatu bagi kita. Misalnya, engagement rate adalah sesuatu yang sangat bernilai bagi para influencer dan KOL, tetapi tidak untuk para biksu di gunung himalaya. Nilai juga menentukan tujuan, keputusan, perilaku, dan tindakan manusia. Segala sesuatu yang kita anggap bernilai selalu kita dahulukan ketimbang hal lain.
Nilai juga menentukan pandangan (persepsi) manusia terhadap dunia. Mengapa kita sering berdebat dan bersinggungan pendapat dengan orang tua kita tidak lain karena terdapat distingsi antara nilai yang kita anut. Mengapa ada manusia yang rela membeli kopi seharga Rp50k dibanding Rp5k adalah karena mereka menganggap kopi seharga Rp50k lebih bernilai ketimbang kopi seharga Rp5k — mungkin status sosial itu bernilai bagi sebagian.
Bagi Scheler, nilai adalah tujuan hidup manusia. Ketika anda mengatakan bahwa tujuan hidup saya bukanlah nilai, melainkan kenikmatan, sebenarnya perasaan nikmat itu anda inginkan karena perasaan nikmat itu bernilai bagi anda. Jika nikmat tidak bernilai, maka anda tidak akan mengejar kenikmatan. Bermain TikTok mungkin menyenangkan bagi beberapa dari kita, tetapi ketika bermain TikTok tidak memiliki nilai bagi anda, maka anda tidak akan bermain TikTok. Dengan demikian, maka hakikat manusia adalah pengejaran akan nilai-nilai.
Nilai itu bersifat mutlak, tidak relatif. Mutlak berarti objektif, bukan subjektif. Nilai juga merupakan sesuatu, bukan sekadar gambaran atau ide. Nilai kerap rancu dengan sesuatu yang bernilai. Apa yang harus kita pisahkan adalah; TikTok itu nikmat; antara kesenangan dari TikTok dengan TikTok itu sendiri harus kita buat garis demarkasinya (batasnya). Kita harus bisa memisahkan antara nilai dengan objek. Mendaki gunung mungkin sangat menyenangkan bagi saya, tetapi tidak untuk anda. Anda mungkin lebih memilih pantai ketimbang gunung. Outputnya sama (kenikmatan), namun mediumnya berbeda. Dengan demikian, nilai merupakan sesuatu yang tidak identik dengan “barang”-nya tetapi identik dengan manusia.
Berikutnya, sifat nilai. Nilai adalah prioritas. Apa yang bernilai pasti diprioritaskan untuk didahulukan, dipilih, dan dikedepankan. Oleh sebab itu, jangan sampai kita salah dalam mengonstruksi hierarki terhadap apa yang sebenarnya bernilai dan tidak dalam hidup kita. Kedua, nilai juga bersembunyi dalam kenyataan. Kenikmatan TikTok tersembunyi dibalik kenyataan TikTok itu sendiri. Nilai tidak terlihat secara eksplisit, namun ia diwujudkan melalui objek tempat ia menempel. Misalnya, warna hitam yang menempel pada baju anda — Warna dan baju adalah dua hal yang berbeda. Ketiga, nilai tidak bergantung pada barangnya. Kenikmatan TikTok dan mempelajari hal baru sebetulnya sama, namun setiap orang memiliki kuasa atas medium yang ia ingin label-kan sebagai bernilai.
“Kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan tidak bergantung pada objeknya.”
Anda mungkin bertanya, “bagaimana seorang anak kecil berkostum badut di sekitar Blok M yang membawa kaleng cat bekas untuk menampung uang receh masih bisa tertawa terbahak-bahak sambil mencengkram Nutri Sari di tangan kirinya? Mengapa saya yang masih tidur diatas nyamannya kasur dan di balik bed cover masih kerap mengeluh akan beratnya kehidupan yang saya jalani?”
Hal itu disebabkan karena nilai yang bernama “kesenangan” itu tidak bergantung pada king koil, Iphone, Rolex, Honda, Nike, Armani, dan sebagainya. Pada obyek apapun, kesenangan dapat bersemayam. Dengan demikian, itulah mengapa nilai tidak bergantung pada obyek–sebagaimana moral dan perbuatan. Semua yang bermoral adalah objektif, tidak bergantung pada subyek individunya. Bukan karena anda tulus lantas menjadi baik, tapi karena pada hakikatnya tulus adalah perbuatan yang baik, maka anda menjadi tulus. Tulus tanpa syarat adalah kebaikan yang objektif. Perbuatan itu mewujudkan nilai, namun perbuatan dan nilai adalah dua hal yang berbeda. Perbuatan adalah kendaraan nilai, tetapi tidak selalu satu perbuatan mengemban nilai yang sama.
Bagaimana dengan anda? Apa yang sangat bernilai bagi anda saat ini? Uang, cinta, agama, barang, gengsi, jabatan, atau gelar? Tidak ada yang salah dengan itu semua. Tulisan ini bukan mengajak anda untuk berpikir secara oposisi biner bahwa nilai yang satu menegasikan yang lainnya. Akan tetapi, lebih kepada refleksi diri terhadap nilai-nilai dalam hidup kita. Apa yang salah adalah jika kita keliru untuk menetapkan nilai yang seharusnya menjadi prioritas, namun kita kesampingkan karena satu dan lain hal — biasanya sih gengsi haha.
That’s all from me. Again, belajar filsafat itu gak kaku-kaku banget kaya patung Socrates yang lagi mikir kok. Ilmu terbaik adalah ilmu yang membumi, bukan ilmu yang dimonopli. Happy Chinese New Year all, stay safe!