Filsafat kok Cinta? Petuah Ibn Arabi

katakurik
9 min readJul 19, 2021

--

oleh : Muhammad Aldiansyah

Cinta merupakan salah satu dari banyak barang abstrak yang ada di kehidupan kita, seperti misal kebenaran, kejujuran, keinginan, hasrat dan sebagainya. Tidak terlihat namun sangat berpengaruh. Makna cinta itu sendiri memiliki tafsir yang sangat banyak. Banyak ahli yang mencoba memaknai apa itu “cinta” menggunakan teorinya masing-masing, dimana salah satunya adalah seorang filosof Islam pada era abad pertengahan, yaitu Ibn Arabi yang akan Saya bahas diakhir tulisan. Tulisan ini murni merupakan refleksi sekaligus kilas balik Saya ketika mengikuti kuliah online bersama Dr. Fahruddin Faiz melalui platform youtube. Melalui tulisan ini, diharapkan kalian dapat mengambil suatu hikmah dari gagasan Ibn Arabi seputar cinta, Tuhan dan alam semesta itu sendiri. Tulisan ini dibuat pada 18 Juli 2021, sekitar pukul 19.45 WIB bersama satu batang teman Saya yang bernama Sampoerna Mild di balkon rumah bibi Saya.

Ibn Arabi / Al-Farabi lahir pada 28 Juli 1165 M di Murcia-Andalusia. Ia merupakan seorang sufi besar yang memiliki julukan ‘belerang merah’, dimana pemikiran-pemikirannya bernuansa romantik. Ia sekaligus merupakan seorang syaiful akbar (guru yang disegani) terutama dalam dunia tasawuf. Ibn Arabi juga dikenal sebagai seorang sufi yang memiliki gagasan kontroversial yang akan Saya bahas pada tulisan ini.

source : google.com

Ada suatu kisah menarik yang menceritakan Ibn Arabi ketika sedang mengunjungi sebuah kota yang dimana dalam kota tersebut terdapat seorang sufi perempuan yang memiliki kecantikan layaknya seorang bidadari. Tidak sedikit pria yang mencoba untuk menikahinya, namun selalu gagal karena sang sufi perempuan tersebut memiliki argumen “Saya tidak ingin berkhianat karena Saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan Allah”. Mendengar pernyataan tersebut, Ibn Arabi kemudian membuat semacam “syair cinta” untuknya, yang kemudian menjadikan Ibn Arabi dikenal sebagai ‘cabul’ dan mendapat stigma negatif bagi sebagian orang. Kendati demikian, Ibn Arabi mempostulatkan makna dari ‘syair cinta’ yang dibuatnya tersebut dan menerbitkan salah satu karya masterpiece-nya yang berjudul Tarjuman Al-Ashwaq. Dimana dalam karya ini, Ibn Arabi menunjukkan kecerdasan dirinya dengan melampirkan beberapa ketajaman argumentasi tentang apa yang ia maksudkan ‘cinta’ itu adalah cintanya kepada Tuhan.

Ada juga sebuah kisah dimana ketika Ibn Arabi melakukan perjalanan menggunakan sebuah kapal besar yang berangkat dari sebuah pulau menuju pulau lainnya (ini menjadi awal mula pertemuan Ibn Arabi dengan Nabi Khidr). Ketika kapal berada di tengah lautan samudera, seketika terjadi badai besar yang membuat kapal terombang ambing. Seluruh penumpang dan awak kapal memanjatkan doa kecuali Ibn Arabi. Lantas, salah seorang penumpang kapal bertanya, “Wahai Ibn Arabi, engkau adalah sufi besar. Apa yang akan engkau lakukan ditengah badai ini?”. Kemudian dengan tenang Ibn Arabi berjalan menuju ujung kapal, berdiri dan berkata “wahai lautan yang kecil, tunduklah kepada lautan yang besar”. Seketika lautan kemudian menjadi tenang. Lautan kecil dan lautan besar ini merupakan ciri khas filsafat Ibn Arabi, yakni filsafat manusia tentang makrokosmos dan mikrokosmos.

Masih banyak kisah menarik tentang Ibn Arabi yang tentunya dapat memberikan pelajaran bagi kehidupan kita. Sebelum menjadi sufi, pada saat Ibn Arabi berusia relatif muda, ia sedang tertidur dan mendapatkan mimpi dimana mimpi tersebut hanya menanyakan satu hal yang lantas membuatnya bergetar dan memutuskan untuk mengambil jalan sufi. Dalam mimpi tersebut Ibn Arabi mendengar suara yang mengeluarkan pertanyaan “apakah untuk ini kau diciptakan?” Inilah titik berangkat perjalanan Ibn Arabi yang dikemudian hari akan melahirkan gagasan-gagasan besar, khususnya tentang cinta, Tuhan dan alam semesta.

Pemikiran Ibn Arabi sebenarnya tidak hanya berkutat pada ranah ontologi belaka, melainkan juga ranah epistemologi. Sedikit berbeda dengan epistemologi filsafat Islam yang menekankan pada bayani, irfani dan burhani, epistemologi Ibn Arabi menekankan pada aql, ahwal dan asrar, dimana pengetahuan tertinggi terletak pada ahwal (rasa, intuisi dan penyaksian batin) dan asrar, yakni pengetahuan yang bergantung pada pencerahan yang bersumber dari cahaya ilahiah kedalam pikiran. Hanya dicapai oleh mereka yang teloah mencapai maqam tertinggi seperti para Nabi, yang juga dalam gagasan filsafat Islam disebut insan kamil.

Adapula substansi gagasan ontologi Ibn Arabi pada hakikatny berbicara seputar cinta, manusia Tuham dan alam semesta, yang dimana konsep ketuhanannya disebut wahdatul wujud (wujud yang sejati). Kata wujud terutama dan lebih khusus digunakan oleh Ibn Arabi untuk menyebut wujud Tuhan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan; tidak ada wujud selain wujud-Nya. Artinya, segala hal, entitas ataupun variabel selain Tuhan tidak mempunya wujud. Dengan demikian, secara logis dapat ditarik kesimpulan bahwa kata wujud tidak dapat diberikan kepada segala sesuatu selain Tuhan, alam semesta dan segala sesuatu yang ada didalamnya. Kendati demikian, para Syekh kala itu menggunakan kata wujud untuk menunjukkan segala hal selain tuhan, namun ia tetap menggunakannya dalam makna metaforis untuk tetap mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Analoginya seperti cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi. Hubungan antara Tuhan dan kosmos (alam semesta) cukup intens dianalogikan seperti hubungan cahaya dan kegelapan. Kembali pada pernyataan awal, karena wujud hanya milik Tuhan, maka ‘adam (ketiadaan) adalah milik alam semesta. Oleh karena itu, Ibn Arabi mengatakan bahwa wujud adalah cahaya dan ‘adam adalah kegelapan.

Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak membutuhkan variabel lain untuk membuktikan bahwa dia ‘ada’. Sedangkan wujudnya selain Tuhan (kosmos, alam semesta dan semua makhluk hidup) disebut dengan ma wujud, yakni ‘ada’ yang membutuhkan variabel lain untuk membuktikan bahwa dirinya ‘ada’. Apabila dalam kitab suci disebutkan bahwa alam semesta sejatinya memang ada, namun hal tersebut hanya metaforis agar memudahkan pembahasan. Hanya ada satu realitas (wahdatul wujud). Realitas ini dapat dipandang melalui dua perspektif yang berbeda. Tuhan, apabila dilihat dari “dirinya” sendiri disebut al-Haqq (the real), yaitu esensi. Sedangkan apabila dilihat dari sisi metaforis, perumpamaan dan manifestasi dari eseni-Nya, maka Dia adalah al-Khalq (penampakan) dan alam semesta ini adalah penampakannya Tuhan. Dimana yang satu dan yang banyak hanyalah nama-nama untuk dua aspek subjektif dari realitas tunggal. Analoginya adalah seperti cermin yang banyak, dimana cermin itu berputar mengelilingi subjek ditengahnya. Wujud sejati adalah subjek yang berdiri ditengah, sedangkan bayangan-bayangan pada cermin hanyalah manifestasi belaka. Mungkin ada argumen yang menyatakan “jika semua adalah manifestasi Tuhan, maka semua kejahatan berasal dari Tuhan?” Bagi Ibn arabi, kejahatan muncul akibat manifestasi yang tidak sesuai dengan porsinya.

Salah satu karya Ibn Arabi yang terkenal hingga dewasa ini adalah berjudul Fushus al-Hikam, dimana karya ini mengandung mutiara hikmah dari cerita-cerita para Nabi terdahulu. Cara penyampaian Ibn Arabi dalam karya ini tidak hanya deskriptif dengan menggambarkanb kisah para Nabi seperti yang ditulis oleh para teolog atau sejarawan, namun dengan kapasitasnya seorang sufi yang memiliki ciri khas romantik, ia juga memasukkan unsur-unsur tasawuf mistik kedalam setiap analisi yang ia bangun. Misalnya tentang bab hikmah penciptaan manusia pertama (Adam a.s), menurut Ibn Arabi hal tersebut mengandung semacam unsur “penyatuan” antara variabel-variabel Ilahiah (Tuhan) dengan wujud manusia. Inilah yang sempat disinggung pada paragraf sebelumnya sebagai konsep wahdatul wujud, manusia citra, manifestasi Tuhan atau insan kamil.

Tuhan menyatukan polaritas kualitas tersebut hanya pada ‘Ada’, dengan orientasi membuat satu distingsi atasnya. Kemudian Tuhan bertanya kepada iblis : “Apa yang membuat kalian untuk tidak bersujud kepada makhluk yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?” Lalu, dia mengatakan dalam hadits Qudsi, “Aku adalah pendengaran dan penglihatannya”.

Melalui gagasan Ibn Arabi pada paragraf sebelumnya, dapat kita pahami bahwa proses penciptaan mikrokosmos yang berwujud (manusia), maka bersamaan dengan demikian nama dan sifat-sifat Tuhan yang melekat pada “hasil” ciptaan-Nya. Hal ini yang ditegaskan oleh Ibn Arabi setiap kali berbicara tentang hakikat penciptaan manusia. Konsekuensi ontologis sifat teomorfis manusia yang mencakup semua nama Ilahi yang menampakkan dirinya pada alam sebagai keseluruhannya adalah bahwa ia mencakup segala realitas alam. Dalam konteks ini, manusia adalah majmu ‘la-alam (totalitas alam). Manusia oleh Ibn Arabi disebut sebagai mikrokosmos dan alam semesta disebut dengan makrokosmos (al-’alam al-kabir).

Manusia disebut sebagai mikrokosmos dan merupakan bagian dari manifestasi Tuhan yang merupakan sebuah anugerah yang sangat mulia. Saya rasa, sejauh mempelajari filsafat, hanya Ibn Arabi yang mengagungkan diri manusia hingga pada tingkat yang tertinggi berdekatakan dengan sifat Tuhan. Baginya, kelenihan manusia dibandingkan makhluk lain tidaklah dipandang dari segi nalar, intelektual dan kemampuan pikiran. Akan tetapi, distingsi fundamental antara manusia dan makhluk lain adalah karena penciptaannya yang merupakan dari as-surah al-ilahiyah (bentuk Ilahi). Menurut Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim, pernyataan tersebut semakin jelas bahwasanya : “Sesungguhnya Allah menciptana Adam menurut bentuk-Nya” (Inna Allah khalawa Adam ‘ala suratihi). Makna dari hadits ini dapat kita pahami secara garis besar dan tergambar secara eksplisit, yakni “bentuk Tuhan” melekat pada diri manusia. Dengan demikian, Tuhan menuntut Adam sejak penciptaannya sebagai manusia pertama seperti seorang ibu yang melahirkan anaknya.

Manusia adalah “kata” yang memisahkan (kalimah fa silah), yang berarti ia berdiri sebagai batas pemisah sekaligus pembeda antara Tuhan dan alam semesta, karena ia adalah cermin yang memantulkan bentuk tersebut. Manusia yang dimaksud oleh Ibn Arabi pada pernyataan sebelumnya, merujuk pada gagasan pemikirannyam yaitu insan kamil (manusia sempurna). Benar bahwa manusia sebagai perantara antara alam dan Tuhan, agar Dia dapat dikenal dan karenanya manusia adalah sebab bagi adanya alam semesta.

Tujuan awal diciptakannya alam semesta beserta isinya oleh Tuhan adalah agar Tuhan dapat dikenali dan dicintai, serta dirindui oleh ciptaannya. Dengan demikian, setiap makhluk merupakan lokus penampakkan diri Tuhan dan manusia (insan kamil) menjadi lokus dari penampakkan diri Tuhan itu secara sempurna. Hanya mausia sempurnalah yang dapat menerima anugerah nama dan sifat-sifat Tuhan tersebut.

Terdapat gagasan Ibn Arabi yang identik dengan gagasan dunia idea Plato, yakni alam mitsal. Alam mitsal ini terkadang disebut juga alam khayal, atau alam imajinal (yang masih memiliki sifat bentuk dan jumlah, namun tidak memiliki wadah konkrit). Semacam blueprint-nya alam semesta dan yang dapat menangkap ini adalah imajinasi. Para awliya’ dan arifin’ yang memiliki akses menuju alam mitsal akan mendapatkan perspektif terhadap segala sesuatu, kendati sesuatu itu tidak terlihat secara empiris bentuk konkrit dan fisiknya. Gambaran masa depan juga dapat diakses melalu alam mitsal. Kemmapuan ini yang biasa disebut sebahai kasyf atau fath. Itu sebabnya banyak tokoh besar bersejarah seperti Jayabaya dari kerajaan kediri dapat meramalkan masa depan Indonesia karena beliau telah berhasil mengakses alam mitsalnya. Poinnya adalah alam mitsal ini merupakan alam-antara yang memisahkan alam asma’ dan sifat dengan alam syahdah (alam inderawi / empiris), yang merupakan alam terbawah atau alam terendah (dunya) karena sifatnya sebagai perantara, alam mitsal disebut juga sebagai alam burzakh. Dunia imajinasi inilah yang menjadi salah satu gagasan Ibn Arabi yang cukup terkenal.

Alam mitsal adalah sebuah spektrum dibawah naungan nur muhammad (limpahan cahaya Tuhan) yang menjadi prototype alam semesta. Dikarenakan dia adalah prototype alam semesta, sedangkan manusia adalah mikrokosmos, sebenarnya dia adalah prototype manusia yang sempurna. Oleh karena itu, manusia yang sempurna adalah jika manusia tersebut dapat menerjemahkan kedirian Tuhan secara utuh, maka dia dapat memanifestasikan nur muhammad (prototype manusia yang sempurna). Poinnya, terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran hakikat nur muhammad. menurut Ibn Arabi, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut :

  1. Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak
  2. Wujud hakikat nur muhammad sebagai manifestasi / emanasi pertama dari wujud Tuhan

Dengan demikian, Ibn Arabi menolak ajaran yang menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari ketiadaan. Ia menyatakan bahwa nur muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada diri para Nabi semenjak Adam hingga Muhammad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya, kalangan wali dan insan kamil.

Filsafat Ibn Arabi seperti yang sempat disinggung diawal paragraf tentang kisahnya bertemu seorang sufi perempuan merupakan filsafat cinta-nya. Kendati tidak seperti Jalaluddi Rumi yang membahas filsafat cinta secara lebih mendalam, Ibn Arabi mengimplementasikan gagasan cintanya kepada Tuhan. Hal ini terlihat dalam syair-syair karya Ibn Arabi yang baik secara tersurat maupun tersirat mengungkapkan cintanya kepada Tuhan. Sebagaimana dalam Hadits Qudsi :

Kuntu kanzan makhfiyyan… (“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Maka aku rindu untuk dikenali. Maka aku ciptakan “Ciptaan” -alam semesta beserta isinya- agar Aku dikenali”). Cinta adalah kerinduan yang mutlak agar dikenali oleh diri yang selain diri-Nya. Alam semesta adalah wujud Cinta Ilahi untuk dikenal. Selama cinta itu masih ada, maka alam ini belum akan berakhir.

Ia yang pencinta sekaligus perindu dan ia yang tidak mengerti apa itu cinta dan apa itu rindu. Ia benar-benar tidak mengerti apa itu semua. Ia hanya bisa merasakannya tetapi tidak mengerti bagaimana harus menjelaskannya. Ia selalu menemui kebuntuan ketika harus menjelaskan hakikat cinta. “Al-hubbu dzauqun wa la tudra haqiqatuhu: Cinta adalah sejenis perasaan yang tidak diketahui apa esensinya”. demikian ia (Ibn Arabi) segera menyerah dan takluk dihapadan kuasa cinta. Ia tidak mampu mendefinisikan dan karena itulah cinta selalu tampak mepesona. Ia dibiarkan dengan kerumitannya dan tenggelam dalam ketidak terdefinisannya. Ibn Arabi adalah pencinta dan perindu. Ia hany ahidup dalam alunan cinta yang syahdu. Cinta yang membuat dirinya mabuk rindu.

Konsep cinta Ibn Arabi adalah cinta yang melampaui kata-kata. Bahasa manusia tidak akan mampu memahaminya. Satu-satunya jalan bagi Ibn Arabi adalah dengan mengungkapkan rasa cintanya dengan figur seorang perempuan bernama Nizham yang adalah seorang sufi perempuan berparas cantik tadi. Apabila dipahami secara langsung, hal yang dilakukan Ibn Arabi memang terlihat nuansa erotisme didalamnya. Namun, diluar penggambaran itu semua, Ibn Arabi sejatinya menghasrati “Metafisika” yang di luas bahasa.

Terakhir, terdapat konsekuensi logis dari wahdatul wujud, yakni wahdatul adyan. Gagasan ini menjadikan Ibn Arabi sebagai salah satu sufi yang kontroversial. Sebagai konsekuensi dari wahdatul wujud, hal ini juga berarti bahwa semua agama, manifestasi, cara berpikir manusia, segala religiusitas, ideologi, pandangan politik dan sebagainya, semua itu adalah wajah yang banyak dari sumber yang satu. Isalm, Nasrani, Yahudi, Hindu, Budhha merasa agamanya adalah yang paling benar dikarenakan manusia menerjemahkan spiritualitasnya berbeda-beda dan cenderung ekslusif. Ada faktor historis yang mempengaruhi sehingga membuat agama-agama menjadi berbeda. Gagasan ini sangat jelas yang didukung oleh syair Ibn Arabi yang berbunyi:

Hatiku Telah Siap Menyambut Segala Realitas. Padang Rumput Bagi Rusa. Kuil Para Rahih. Rumah Berhala-Berhala. Ka’bah Orang Tawaf. Halaman-Halaman al-Qur’an

Aku Mabuk Cinta. Kemanapun Dia Bergerak, Disitu Aku Mencintaninya. Cinta Adalah Agama dan Imanku

Dengan demikian, pengalaman mencintai yang tulus antar manusia ialah perjalanan awal menuju pengenalan untuk mencintai yang Maha Mencinta (Tuhan). Bagi Ibn Arabi, khazanah spiritual manusia adalah perenial, karena modus beragama kita adalah sama, yaitu CINTA.

--

--

katakurik
katakurik

Written by katakurik

Digital Creative Enthusiast | Bachelor of Philosophy | Digital Marketer

Responses (1)