oleh : Muhammad Aldiansyah
Tulisan ini merupakan kilas balik ketika Saya mengambil mata kuliah Filsafat Kontemporer pada April 2020 (semester 4), dimana kala itu materi yang disajikan adalah seorang filsuf besar asal jerman, yakni Martin Heidegger. Ia adalah seorang yang terkenal dengan kisah perselingkuhan dengan muridnya (Hannah Arendt), seorang yang pro terhadap rezim otoriter Nazi, mendambakan Yunani Kuno dan berhasil menerbitkan karya masterpiece-nya yang berjudul “being and time”. Sedikit banyak pemikiran Heidegger mendapat pengaruh dari para pendahulu era modern seperti Kant dan Hegel, serta dari sang guru fenomenolog, Edmund Husserl. Kendati demikian, gagasan dan pemikiran Heidegger tidak hanya berkutat dalam ranah fenomenologi belaka, melainkan juga filsafat bahasa, metafisika, hermeneutika, seni dan teknologi. Di kemudian hari, peninggalan pemikiran yang diberikan Heidegger terhadap ranah filsafat sangatlah luas, baik dalam kajian ontologi, epistemologi maupun aksiologi.
Heidegger menolak tesis tradisional bahwa kita harus dapat mempersepsi sesuatu untuk dapat memahaminya sebagai “sesuatu”. Ia berargumen sebaliknya, bahwa memahami sesuatu sebagai “sesuatu” lebih fundamental dibandingkan dengan persepsi objektif. Singkatnya, Heidegger hendak mengatakan bahwa segala tujuan dalam mempersepsi dan memahami didasarkan pada sense of projecting possibilities.
Agar lebih mudah, Saya menganalogikannya seperti ini: Ketika Saya hadir dalam suatu pertandingan “sepakbola” di Gelora Bung karno, dimana kala itu Indonesia berhadapan dengan Islandia (friendly match). Pemahaman akan fenomena sepakbola ini secara persepsi objektif adalah sebuah olahraga, yang dimainkan oleh 2 tim, dimana masing-masing tim berjumlah 1 penjaga gawang dan 10 pemain. Adapun cara bermainnya adalah masing-masing tim harus memasukan bola ke dalam gawang tim lawan mereka. Akan tetapi, persepsi objektif akan sepakbola yang seperti itu adalah “tradisional” bagi Heidegger. Memahami sepakbola sebagai “sesuatu” merupakan hal yang lebih fundamental dibandingkan persepsi objektif. Artinya, persepsi makna sepakbola bagi Saya belum tentu sama dengan persepsi makna sepakbola menurut guru spiritual Saya, ibu Saya, atau bahkan Florentino Perez (pemilik klub Real Madrid). Bagi Saya, sepakbola adalah fenomena yang sangat menyenangkan sekaligus menjadi hobi Saya. Sedangkan bagi guru spiritual Saya, sepakbola adalah kegiatan yang baik untuk kesehatan sekaligus menjadi tanda bersyukur kita kepada Tuhan. Kemudian bagi ibu Saya, sepakbola adalah suatu aktivitas yang berbahaya, yang dapat membuat kaki anaknya patah. Lebih jauh lagi makna sepakbola menurut Florentino perez, dimana pemahamannya akan sepakbola adalah suatu komoditas yang dapat menghasilkan uang yang sangat banyak bagi hidupnya. Output fenomenanya adalah sama -sepakbola- namun subjek penau dalam memahami makna sepakbola adalah berbeda.
Heidegger menekankan bahwa dalam upaya kita memahami segala sesuatu tentang dunia ataupun realitas yang kita hadapi setiap harinya, adalah tidak terlepas dari aspek proyeksi Dasein (Ada) itu sendiri serta struktur dasarnya. Heidegger juga menolak persepsi yang objektif karena baginya dalam memahami dan melakukan suatu interpretasi, manusia memiliki tiga aspek “bawaan” dalam struktur dasar. Ketiga aspek tersebut adalah Vorhabe, Vorsicht dan Vorgriff, dimana ketiga aspek ini juga disebut sebagai “cakrawala penafsir”.
Vorhabe memiliki arti “to intend” atau “to have planned”. Maksud heidegger adalah terma Vorhabe adalah untuk menunjuk bahwa dalam memproyeksikan Dasein, kita sebelumnya (vor-haben) telah memiliki seperangkat struktur referensial dan hal tersebut berfungsi sebagai latar belakang dalam menginterpretasikan suatu entitas atau teks. Contoh Vorhaben ini dalam analogi yang Saya berikan tadi adalah persepsi makna sepakbola melalui guru spiritual Saya, dimana sepakbola adalah fenomena yang baik untuk kesehatan sekaligus menjadi tanda bersyukur kita atas Tuhan. Dimana ia mempersepsikan makna sepakbola melalui latar belakang spiritual, yakni sepakbola sebagai bentuk penghormatan terhadap Tuhan.
Vorsicht berarti “sudut pandang” atau dapat juga dikatakan sebagai point of view (Sicht). Aspek kedua dalam fore-structure Heidegger menyatakan bahwa dalam menginterpretasikan entitas atau teks, kita cenderung melihat dari sisi mana yang ingin kita pahami. Misal dalam analogi tadi, persepsi akan makna sepakbola adalah berbeda-beda dikarenakan ada faktor Vorsicht (sudut pandang). Makna sepakbola bagi Florentino perez adalah komoditas yang dapat menghasilkan uang, dikarenakan dari sisi ekonomi-lah yang ingin ia pahami, berbeda maknanya dengan Saya, guru spiritual ataupun ibu Saya.
Vorgriff berarti “antisipasi”. Aspek ini merujuk pada penggunaan struktur konseptual yang kita miliki sebelumnya dalam upaya memahami sesuatu dan menghasilkan pengetahuan atau konsep yang baru. Maksudnya adalah dalam mempersepsi suatu hal, manusia akan menggunakan persepsi yang sudah ada sebelumnya untuk memaknai objek yang sedang ia persepsi. Artinya, kembali lagi jika dikaitkan dengan analogi sepakbola tadi, persepsi makna sepakbola bagi Saya adalah fenomena yang sangat menyenangkan, yang sekaligus menjadi hobi Saya. Dengan persepsi demikian, ternyata sepanjang sejarah Saya bermain atau menonton sepakbola, kegiatan ini memang sangat menyenangkan. Hal ini kemudian membentuk persepsi Saya akan makna sepakbola tadi dengan persepsi yang sudah terbentuk sebelumnya, bahwa sepakbola adalah kegiatan yang menyenangkan.
Berangkat dari tiga aspek tersebut, bagi Heidegger sebuah wacana atau teks adalah bahasa yang menjadi peristiwa yang tidak bersifat netral karena dalam menerjemahkan fenomena dan realitas yang kita hadapi, selalu terdapat faktor objek yang hadir, subjek dan dunia yang diinterpretasikan serta konteks waktu.
Perlu ditekankan bahwa Heidegger adalah seorang filsuf kontemporer, dalam artian kontemporer muncul sebagai kritik terhadap pemikiran filsafat modern. Heidegger berpendapat bahwa filsafat modern bersifat reduktif dalam membaca realitas, hanya melihat yang “terlihat” saja. Hal ini jelas tidak salah, namun reduktif. Baginya kebenaran bukan soal pengetahuan, melainkan soal keterbukaan (alatheia) realitas itu sendiri pada manusia. Sains dimaknai oleh para filsuf modern hanya sebatas matematis, empiris dan rasionalis. Akan tetapi, menurut Heidegger dalam memaknai sains itu sendiri adalah lebih dari itu. Kebenaran menurut Heidegger adalah bagaimana suatu objek “menampilkan diri” pada manusia dan kemudian manusia memaknai objek tersebut. Contoh lainnya adalah bagaimana kitab suci al-Qur’an itu satu namun tafsirannya sangat banyak.
Gagasan tersebut kemudian Heidegger korelasikan lagi lebih jauh dalam memahami realitas dan kesadaran. Ketika Saya sebagai subjek penau memahami realitas, maka realitas tersebut masuk ke dalam diri subjek dan tampil sebagai makna versi subjek tersebut dan pemahaman ini bersifat dialektis. Hanya karena memahami dan mempersepsi sesuatu, kesadaran manusia dapat berubah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemahaman akan sesuatu mempengaruhi kesadaran, dimana kesadaran mempengaruhi tindakan dan tindakan mempengaruhi eksistensi manusia.
Heidegger juga mengkritik gagasan Descartes (cogito ergo sum), yang apabila diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “aku berpikir, maka aku ada”. Heidegger berpendapat bahwa para filsuf modern terlalu terpaku pada “aku berpikir” sehingga melupakan “aku ada”, dimana bagi Heidegger hal tersebut lebih fundamental. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang mendorong bahwa poros pemikiran Heidegger bermuara pada apa yang disebut “pembedaan ontologis”.
Sumber Rujukan
Kuliah online Martin Heidegger: Fenomenologi oleh Dr. Fahruddin Faiz melalui chanel Youtube “MJS” yang diakses pada tanggal 29 februari 202
Paper Interpretasi Kritis Filsafat Being yang diberikan pengajar pada 3 April 2020
Paper Martin Heidegger yang diberikan pengajar pada saat kelas Filsafat Kontemporer