Paradoks, Refleksi

Entitas Unik

Perburuan tanpa henti.

katakurik
5 min readApr 5, 2023
photo by: vulture.com

Beberapa waktu lalu, saat sedang menelusuri laman TikTok, jari Saya terhenti paska 2 detik pertama pada video seseorang yang menampilkan review buku The Visual MBA by Jason Barron. Entah itu opini jujur atau endrosement, ia membagikan kesannya setelah membaca buku tersebut. Kurang lebih 20 detik Saya bakar untuk melihat video itu sampai habis karena memang pembahasannya sangat menarik.

Buku itu merangkum semua yang telah dipelajari penulis selama dua tahun di sekolah bisnis Brigham Young University dalam bentuk sketchnote. Hal ini cocok buat kalian yang sedang bosan membaca buku dalam bentuk teks-teks yang panjang. Ganti baju, panasin motor, dan pergi ke Gramedia adalah konklusinya. Yup, video itu berhasil membuat saya untuk melakukan konversi dan memutuskan untuk membeli buku tersebut — Marketing.

Sesampainya di kos, Saya mulai membaca. Pada Bab I (kepemimpinan), ada satu sketchnote yang menunjukkan bahwa achievement berbanding lurus dengan stress atau pressure. Hal itulah yang sekaligus memberikan Saya ide untuk menulis artikel ini setelah sekian lamanya Saya tidak menulis karena asik mengejar duniawi.

“Pencapaian berbanding lurus dengan tingkatan stress seseorang”

Bagaimana dengan pernyataan di atas? Apakah kalian setuju? Silahkan tulis di kolom komentar. Saya sangat setuju dengan pernyataan itu. Bahwa pencapaian berbanding lurus dengan tingkatan stres seseorang. Hal tersebut karena Saya mengalaminya langsung, tepatnya di tempat Saya bekerja saat ini.

Pada 2022 lalu, saat Saya memulai dunia profesional sebagai copywriting, klien di kantor Saya sangatlah sedikit. Seingat Saya saat itu hanya ada 3 campaign, dan nominal transaksinya tidak sebesar 1 unit Honda Jazz bekas dalam sebulan. Bagi sebuah perusahaan yang berkantor di salah satu gedung di Jakarta Selatan, jumlah itu tentu sangat kecil mengingat ada tanggungan biaya operasional, seperti uang sewa gedung, listrik, upah karyawan, dsb. Apa yang Saya lakukan di kantor saat itu sebagian besar adalah bermain mobile game, mengobrol, ngopi, merokok, haha hihi, dan kegiatan tidak berfaedah lainnya. Pro dan kontra tentu ada. Saya menikmati momen dimana kerjaan tidak berbanding lurus dengan upah yang Saya terima — gaji buta. Di satu sisi, Saya juga mengkhawatirkan masa depan Saya. Terus terang Saya tidak mendapat ilmu apapun saat itu, dan tidak jarang berpikir untuk melakukan resign. Akan tetapi, semua berubah saat negara api bernama P&G menyerang. Deng, deng, deng, deng… *lagu avatar.

Pada Q4 2022, kantor tempat Saya bekerja mendapat kesempatan untuk memegang beberapa brand dari P&G. Beberapa dari brand itu adalah Gillette Flexi Vibe, Gillette Venus, Downy, Neurobion, dan e-commerce P&G itu sendiri. Sebagai creative lead, Saya ditugaskan untuk meng-handle Gillette Flexi Vibe, Gillette Venus, dan Neurobion untuk menjalankan campaign influencer marketing mereka. “Tidak jadi bangkrut ini kantor”, dalam hati saya berjulid.

Awalnya semua excited, termasuk Saya. Saya juga merasakan semangat yang sangat membara kala. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama sebab satu persatu isu atau permasalahan mulai datang laksana gerimis. Tidak untuk semua campaign sih, Saya masih sangat semangat dan antusias mengerjakan Gillette. Akan tetapi, beberapa kolega Saya di kantor hampir setiap hari mengeluh akan pekerjaan mereka. Seolah mereka ingin ini semua segera berakhir. Betapa polosnya kami.

Semula yang kami lakukan di kantor hanyalah haha hihi, bermain, ngopi dan ngerokok, kini telah berubah menjadi kompetisi perburuan duniawi tanpa henti yang perlahan mengikis eksistensi.

Saya tahu ini baik untuk Saya dan teman-teman Saya. Saya paham betul makna dari kata-kata “pressure make diamond”, atau “tidak ada pelaut handal yang berasal dari laut yang tenang”. Akan tetapi, di sini Saya mulai berpikir, apakah satu-satunya ongkos kejayaan adalah perasaan stres? Apa gunanya pencapaian jika kita tidak menikmati hidup? Bagaimana dengan mereka yang bunuh diri akibat stres? Mengapa pencapaian berbanding lurus dengan stres atau tekanan?

Yah, terkadang stres atau tekanan justru membantu untuk meningkatkan kinerja, tetapi ada satu titik dimana kinerja mengalami penurunan. Pastikan untuk istirahat sejenak, olahraga, dan bersantai untuk menjaga kinerja itu.

Berbicara mengenai pencapaian, akan lebih menarik jika kita perbesar lanskapnya. Jika tadi konteksnya mungkin masih dalam skala mikro, seperti pekerjaan, kuliah, sekolah, mengurus rumah tangga, dsb, mari kita lihat dari sudut pandang makronya: sejarah manusia.

Pada masa pra-sejarah, nenek moyang kita mungkin masih berjibaku untuk melawan ganasnya iklim, ancaman dinosaurus, dsb. Anaknya nenek moyang kita kemudian berjuang menyusun sistem pemerintahan yang ideal, dengan mendirikan sistem kerajaan-kerajaan dan main perang-perangan menggunakan pedang dan busur mereka. Beberapa dari kita mungkin tidak asing dengan bencana black death yang melahap kurang lebih sepertiga populasi Eropa pada abad pertengahan. Beberapa dari kita juga mungkin tidak asing dengan peristiwa holocaust yang menewaskan lebih dari lima juta umat Yahudi pada masa Perang Dunia II.

The Black Death. Photo by: thoughtco.com

And yet, here we are. Merasakan suhu bumi yang ideal, tidur di kasur yang empuk tanpa harus khawatir akan granat, menikmati kemudahan informasi tanpa khawatir dogma gereja, akses ke segala hal hanya dalam sentuhan jari, dsb. Semua ini berkat temuan-temuan pendahulu kita. Ironinya adalah, ketika manusia hampir mampu untuk mengatasi permasalahan-permasalahan mereka (perang, wabah, iklim, dsb), segala pencapaian manusia itu tidak berbanding lurus dengan kebahagiaannya.

Angka bunuh diri dan tingkat depresi manusia saat ini lebih tinggi ketimbang pada abad-abad sebelumnya, dimana peperangan dan wabah sudah tidak seintens dahulu. Saat ini, seharusnya kita lebih takut kepada Mc’Donalds ketimbang teroris sebab angka kematian akibat obesitas lebih tinggi ketimbang peperangan. Saat ini, algoritma sosial media lebih menakutkan ketimbang perubahan iklim.

“Manusia gemar memberikan solusi, dan menciptakan masalah.”

Setiap hari, aktivitas yang kita lakukan tidak mungkin tidak adalah upaya untuk memberikan solusi atas permasalahan. Sekecil merapikan tempat tidur juga adalah solusi atas permasalahan (tidak elok dilihat jika tidak rapih). Dengan demikian, Saya menyimpulkan bahwa entitas unik bernama manusia ini tidak bisa disimpulkan mengingat kompleksnya aksi-reaksi yang mereka lakukan. Seolah kehidupan adalah perburuan tanpa henti, dimana stres (masalah) sudah menjadi makna kehidupan yang diselingi kebahagiaan seperti yang dikatakann bang Ferry Irwandi. Ah, panjang sekali ocehan Saya malam ini. Sekian, dan terima kasih sudah mampir!

If you feel engaged with my articles, don’t forget to follow and subscribe to my e-mail so you won’t miss my next article. I’m also a freelancer; kindly reach me at @aldikurikk (Instagram) or aldikurik@gmail.com if you need a copywriter, content writer, article writer, or script writer for your project!

Cheers,

Katakurik

Source

Barron, Jason. The Visual MBA: Two Years of Business School Packed Into One Priceless Book of Pure Awesomeness. Houghton Mifflin, 2019.

Harari, Yuval Noah. “Sapiens: a brief history of humankind by Yuval Noah Harari.” The Guardian (2014)

Harari, Yuval Noah. Homo Deus: Masa depan umat manusia. Pustaka Alvabet, 2018.

--

--

katakurik
katakurik

Written by katakurik

Digital Creative Enthusiast | Bachelor of Philosophy | Digital Marketer

Responses (6)