sebuah pedang bermata dua.
Suatu hari Saya dan pakcul (teman Saya) sedang ingin nongkrong di luar karena bosan dengan kegiatan sehari-hari. Bosan di rumah dan ingin keluar. Di perjalanan, ada pengendara lain yang mengendara dengan semena-mena. Sontak karena pakcul adalah salah satu teman Saya yang “agak” mudah marah, dia tersinggung dan teriak “a*jing”. Saya memakluminya karena memang pengendara tersebut sangat sembarangan di jalan. Namun, setelah dipikirkan ternyata Saya menemukan sesuatu dari fenomena tersebut. Apa hal yang membuat pakcul marah adalah hal yang Saya temukan jawabannya. Sebelum sampai kesitu, yang memantik Saya adalah pertanyaan :
“Apakah pakcul marah karena pengendara tersebut atau dia marah karena dirinya sendiri?”
Mungkin jika ditelaah secara langsung, pastilah jawabannya karena pengendara yang sembarangan tersebut. Akan tetapi, Saya melihat suatu hal yang Saya rasa lebih dalam dibandingkan pengendara tersebut. Hal tersebut adalah bahwa pakcul menjadi marah karena ekspektasinya sendiri. Bagi Saya, penyebab utamanya bukan ada di pengendara sembarangan tersebut melainkan ada di diri pakcul itu sendiri. Saya berani berasumsi bahwa pakcul memiliki ekspektasi untuk perjalanan yang santai, aman dan tentram. Dia mengekspektasikan hal ihwal demikian. Ketika ekspektasinya dihancurkan, keluarlah kata a*njing dari mulutnya.
Sebagian dari kita mungkin pernah mengalami peristiwa yang serupa. Secara spontan kita mengeluarkan reaksi amarah terhadap sesuatu, merasa sedih ketika mendengar sesuatu ataupun senang karena suatu hal menyenangkan. Bagi Saya, letupan-letupan emosi yang ada di kehidupan kita tidak mungkin tidak beririsan dengan ekspektasi yang ada dalam diri kita. Terkadang kita kecewa karena perilaku bos atau teman kita. Anda tidak kecewa karena perilaku bos atau teman Anda, melainkan Anda dikecewakan oleh ekpspektasi Anda sendiri. Anda kecewa tidak jadi keluar karena hujan atau iklim tertentu, bukan dikecewakan oleh hujan melainkan Anda kecewa karena Anda berekspektasi bahwa cuaca hari ini haruslah cerah. Anda bukannya kecewa karena ditolak oleh gebetan, melainkan dikecewakan oleh sang jagoan bernama ekspektasi. Anda kecewa karena ekspektasi Anda tidak linear dengan realita yang terjadi. Anda sakit karena diri Anda sendiri.
Saya berani bertaruh bahwa semua hal yang memengaruhi emosi dan mood kita di kehidupan berhubungan dengan ekspektasi yang kita miliki. Saya bukannya melarang untuk berekspektasi tetapi lebih kepada kebijaksanaan kita dalam berekspektasi. Manusia tidak mungkin untuk tidak berekspektasi. Kita sudah diciptakan layaknya romeo-juliet dengannya. Untuk itu, Saya berpendapat bahwa adalah mustahil untuk menyingkirkan ekspektasi dari diri kita. Ekspektasi bagi Saya seperti angin. Kita tidak bisa mengarahkan angin karena dia kuat dan independen. Kendati demikian, kita tetap bisa memasang dan mengembangkan layar di kapal kita bukan?
“We can’t direct the wind, but we can adjust the sail.” — Thomas S. Monson
Saya juga tidak dapat memungkiri bahwa ekspektasi menjadi semacam bahan bakar yang memotivasi Saya sehari-hari. Tanpa ekspektasi rasanya Saya tidak mood untuk mengerjakan segala sesuatu. Bahkan, terkadang ekspektasi menjadi semacam pedoman hidup seseorang untuk lebih bersungguh-sungguh dalam hidup. Dia tidak terlihat namun sangat berpengaruh. Itulah ekspektasi.
Ekspektasi layaknya sebuah pedang bermata dua. Ia dapat memberikan manfaat, tetapi juga dapat menimbulkan musibah. Kita tidak bisa menyingkirkan ekspektasi, tetapi kita dapat mengontrol ekspektasi. Dengan demikian, apa yang menjadi poin Saya adalah tidak ada hal yang benar-benar menyakiti kita di dunia ini selain diri kita sendiri. Pemahaman ini mungkin sukar untuk dipahami, namun mengacu pada beberapa refleksi Saya dalam kelas filsafat menambah keyakinan atas pernyataan subjektif Saya. Kendati berpandangan demikian -bahwa yang hanya dapat menyakiti kita adalah diri kita sendiri- Saya juga terkadang masih kecewa, marah dan sedih akan hal-hal tertentu meskipun Saya mengetahui bahwa itu semua dapat terjadi karena berasal dari satu sumber. Butuh ketekunan dan kesabaran lebih agar bisa benar-benar mengontrol sang ekspektasi.
Terakhir, Saya ingin bertanya kapan terakhir kali Anda marah / kecewa / sedih? Coba pikirkan dengan baik dari mana sumber emosi Anda tersebut? Apakah berasal dari bos, teman, pacar, orang tua, kuliah, kerjaan, iklim, harga saham, deadline, atau jangan-jangan berasal dari ekspektasi Anda sendiri? Kemudian, apa yang sedang Anda ekspektasikan saat ini? Selamat berpikir.