oleh : Muhammad Aldiansyah
Ketika mendengar kata Timur apa yang terlintas di benak Anda? Mungkin kuno, hangat, damai, sedikit terbelakang? Apapun itu, karakteristik suatu hal ternyata tidak terlepas dari konteks sosial-historis hal itu sendiri. Ketika belajar sejarah di bangku sekolah, mungkin kita juga tidak asing mendengar istilah ‘dunia barat’ dan ‘dunia timur’, dimana hal ini mengacu salah satunya pada bagian belahan dunia itu sendiri. Terlepas dari hal tersebut, masing-masing dunia, tempat, negara, benua atau segala landscape memiliki suasana dan nuansanya tersendiri. Dalam filsafat sendiri pembagian kriteria zaman dibagi menjadi empat timeline, seperti Yunani Kuno, Abad Pertengahan, Modern dan Post-Modern, dimana masing-masing zaman memiliki karakteristik dan ciri khas tertentu yang menyelimutinya. Hal tersebut agaknya serupa dengan pembagian ‘dunia barat’ dan ‘dunia timur’. Keduanya memiliki suasana yang berbeda, baik dalam segi kebudayaan, pemikiran, orientasi dan sebagainya. Tulisan ini adalah murni hasil ‘kegabutan’ Saya dikala pandemi melanda, dimana Saya akan mengingat-ingat sedikit pelajaran apa yang telah Saya dapatkan selama perkuliahaan Saya.
Sejauh Saya berkuliah di filsafat, pikiran Saya sedikit terdistoris bahwa filsafat itu berasal dari barat, tepatnya ketika Plato membukukan beberapa karyanya mengenai Sokrates. Kemudian masuk ke Abad Pertengahan barulah Saya menemukan sedikit materi mengenai timur. Namun, ketika masuk timeline modern dan post-modern, suasana timur itu agaknya sedikit pudar dibandingkan ketika masa Abad Pertengahan. Manusia mendadak jatuh cinta dengan rasionalitas yang dimilikinya dan mulai bersifat bak langit yang sombong. Ajaran-ajaran filsafat timur juga dikenal hanya sebagai petuah-petuah belaka, seperti misal bahasan tentang etika, moral dan kebajikan. Berbeda dengan filsafat barat yang sepertinya lebih mantap dan keren. Dengan demikian, apakah filsafat timur layak disebut sebagai ‘filsafat’?
Pertanyaan tersebut kerap muncul dikarenakan sifat dari filsafat timur itu sedniri tidaklah sistematis seperti filsafat barat. Misal dalam filsafat barat kita mengenal pembagian ontologi, epistemologi dan aksiologi. Pemikiran timur itu agaknya sedikit campur aduk dan tidak karuan. Tidak dibahas secara kritis namun diterima begitu saja. Kendati demikian, Saya rasa mendalami filsafat timur itu kita dituntut untuk kritis yang sangat dalam dikarenakan polanya yang cenderung totaliter. Filsafat barat bisa diklasifikasikan, sedangkan filsafat timur tidak. Ketika kita mempelajari filsafat timur, apabila kita membahas A pasti akan sedikit menyinggung B,C,D dan seterusnya. Dimana tidak sedikit yang menjadi ragu bahwa apakah ajaran timur itu bisa disebut filsafat atau bukan dikarenakan gaya berfilsafatnya.
Jika konteksnya adalah gaya yang sistematis dalam penyampaiannya, mungkin filsafat timur tidak demikian. Akan tetapi, disisi muatan dan reflektif serta kontemplatif, filsafat timur sangatlah luar biasa. Barat itu seperti “mandeg” di dunia empiris dan rasional sedangkan timur tidak berhenti disitu. Bahkan terkadang filsafat timur tidak menggunakan empiris dan rasionalnya, dimana para filsufnya kerap melampaui dirinya sendiri. Filsafat timur cenderung sering menafsirkan, berusaha memahami dan kemudian mengamalkan ajaran-ajarannya. Dengan demikian, terkesan pemikiran timur hanya seperangkat tuntutan praktis untuk menjalani hidup atau sebagai serangkaian tuntutan praktis untuk menjalani hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Filsafat timur secara episteme yang dikembangkan adalah nurani dan intuisi, sedangkan barat adalah akal dan rasional. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran timur pasti lekat dengan etika dan estetika. Misal dalam pemikiran Islam kita mengenal ada bayani, burhani dan akhlak sebagai basis pengetahuan (episteme)-nya. Filsafat barat juga kerap memposisiskan dirinya “diatas” alam, sedangkan timur mempoisisikan dirinya “ditengah” alam. Timur berkata “Kita adalah bagian dari alam” subjek — subjek, sedangkan barat berkata “kita adalah penguasa alam semesta” subjek — objek. Adapaun perbedaan lainnya terdapat pada tujuan hidup (life oriented), dimana tujuan orang timur adalah harmonis, tentram dan tenang, sedangkan barat lebih kepada progres (modernitas).
Filsafat timur membaca manusia sebagai individu ditengah sosial. Tenangnya hidup seseorang dipengaruhi faktor sosial, dimana lingkungan sosial dapat tenang apabila tiap individunya juga tenang (hukum kausal). Setiap orang memperbaiki dan terus memperbaiki. Filsafat barat lebih berlomba untuk pinter-pinteran dikarenakan orientasinya adalah progres. Secara lebih eksplisit, orientasi timur antara lain : universal, soul & intelect, interrelated or oneness, harmony & unified, adapt to external change, menyesuaikan diri dengan alam, spiritual — mistis, emosional — intuitif, ketentraman, kemapanan, total dan puitis. Sedangkan barat antara lain : individual, accumulation of knowledge, seperate parts from the whole, master & control reality, apart from and within, menguasai alam, rasional — empiris, dinamika dan perkembangan, parsial, deskriptif, rasional — analitik. Misal ada gelas pecah, timur akan memaknainya dengan “aduh pertanda buruk apa ini”, sedangkan barat “betapa cerobohnya aku tidak berhati-hati”.
Prinsip yang dipegang keduanya-pun berbeda, dimana barat individualisme dan timur kolektivisme, barat lebih fragmentaris sedangkan timur holistik. Dimana barat menganggap konflik adalah baik karena tanpa konflik tidak akan ada kemajuan, sedangkan timur lebih menekankan pada kehidupan yang harmonis.
Pemikiran timur beranggapan adanya sebuah kebenaran universal (sophia perennis). Timur melihat alam semesta sebagai makrokosmos dam manusia sebagai mikrokosmos. Ajarannya mengatakan bahwa kita dapat menemukan jati diri melalui ilmu dan laku, dimana laku yang paling utama adalah mengontrol / megendalikan hasrat dan nafsu. Timur beranggapan bahwa segala peristiwa di dunia ini saling terkait, bergerak secara sirkuler (karma), dimana tujuan kita berada di dunia ini adalah untuk memutus rantai tersebut (kematian). Perkembangan / kemajuan adalah perjalanan tanpa akhir. Masa depan tergantung pada kebajikan di masa kini. Memposisikan Manusia sebagai bagian dari alam semesta dan masyarakat. Kemenangan adalah kemenangan atas diri sendiri, bukan mengalahkan orang lain.
Sejak awal perkembangan, pemisahan antara timur dan barat menjadi jelas dikarenakan gaya pemikirannya yang berbeda. Kendati demikian, tidak sedikit yang melakukan semacam sintesis antara pemikiran timur dan barat. Seperti misal katakanlah Arthur Schopenhauer yang mencampur hinduisme dan pemikiran barat dalam gagasannya. Salah satu tokoh psikologi besar juga melakukannya, yakni Carl Gustav Jung yang memasukkan prinsip yin-yang dalam psiokologinya. Juga Heidegger yang menerjemahkan Tao Te Ching kedalam bahasa Jerman. Hal ini Saya rasa disebabkan karena untuk mencapai kebijaksanaan, kita tidak bisa hanya berporos pada timur atau barat belaka. Kemajuan itu penting tetapi harmonis juga penting. Progres itu penting namun kemapanan itu juga penting. Dengan demikian, pemikiran saat ini Saya rasa sedang mengalami semacam revitalisasi, semacam new-age movement dimana pemikiran barat merindukan timur dan timur merindukan barat. Yin merindukan Yang dan Yang merindukan Yin. Jika demikian, mungkin akan muncul pertanyaan “mengapa kendati sudah lebih modern barat ingin kembali ke timur?”
Pertanyaan demikian cukup menarik karena mungkin pada zaman kontemporer saat ini, pemikiran khas timur sudah mulai ditinggalkan dan semakin tidak relevan dengan membahas seputar hal-hal yang bersifat rohaniah. Namun, semakin kita berlari dengan kencang ada kalanya kita merasakan lelah dan perlu beristirahat. Artinya, pemikiran ala barat sedikit letih dengan sains modern yang materalistik dan mekanistik. Selain itu, antroposentrisme nalar modern juga kerap berpengaruh. Peradaban barat mulai lelah menjadi role model di muka bumi. Bayangkan Anda seorang Justin Bieber, kemana-mana diikuti oleh paparazi. Seperti itulah kurang lebih kondisi pemikiran barat. Narsistik semacam itu tentu akan membuat kita lelah dengan sendirinya. Hal lain adalah karena peradaban manusia sudah mulai merasakan sedikit dampak modernitas yang dilakukannya, yakni sewenang-wenang dengan alam dengan lahirnya berbagai macam isu dan permasalahan lingkungan yang berdampak kepada manusia itu sendiri. Hal lain adalah formalisme beragama yang dekonstruktif terhadap nilai kemanusiaan.
Baik barat maupun timur mengandung keuinikan pemikirannya tersendiri. Menjadi orang kaya itu mungkin seru, namun apadaya keseruan tersebut apabila tidak bertahan lama, tidak mengandung kemapanan dalam artian yang lebih subtantif. Kebijaksaan dari timur mengajarkan bahwa kita, sebagai manusia, haruslah berkaca atas apa yang telah kita perbuat di muka bumi. Dengan demikian, tidak salah apabila Anda beranggapan bahwa lebih baik saya menangis di Rolce Royce ketimbang di Honda Beat. Barat lebih baik ketimbang timur. Mengapa Anda harus menangis dan tidak tertawa terbahak-bahak di dalam Rolce Royce Anda? Apa yang ingin Saya sampaikan bukanlah merujuk pada pemilihan antara barat dan timur, melainkan kebijaksaan yang dapat kita ambil dari keduanya. “Bagaiamana Saya bisa kaya” adalah penting, namun “bagaimana saya dapat hidup tenang” juga penting. Bukannya menegasikan satu dengan yang lainnya, melainkan mengambil hikmah dari kedua pemikiran tersebut.