Manusia
Bagaimana Jika Hidup Bukan Tentang Kebahagiaan?
Minggu dini hari. Masih bergulat dengan telepon genggam. Entah apa yang saya cari hingga masih belum tertidur padahal besok Senin. Sedikit senang sebab akhir pekan akan naik gunung bersama kawan.
Apa hanya saya yang merasa bahwa ketika Minggu tiba, perasaan jadi sedikit aneh. Seakan waktu berhenti dan jauh di lubuk hati merasa gusar. Padahal 25 tahun hidup sudah saya lalui dan memang seperti ini – Minggu dan Senin.
Terkadang, saya dengan polosnya berpikir mengapa pemerintah hanya meliburkan hari Sabtu dan Minggu? Mengapa manusia tidak layak bahagia lebih lama? Sedikit naif manusia 25 tahun ini, tapi tak apa itulah manusia.
Mengapa weekend hanya diciptakan dua hari dan tidak lebih mungkin menjadi pertanyaan rumit yang harus saya telusuri dari segi historis dan sosial. Namun, mungkin jawabannya cukup simpel dengan menggunakan nalar biasa:
“Semakin sering kita merasakan sesuatu, maka semakin redup pula rasa spesial pada hal tersebut.”
Indomie yang kita santap ke-1,000 kali tidak akan lebih spesial dengan Indomie yang kita santap pertama kali. Jika weekend terjadi dari Selasa hingga Minggu, maka sepertinya semua orang akan mendambakan hari Senin.
Ya, sepertinya memang idealnya seperti ini. Mengapa kita tidak layak bahagia lebih lama adalah karena rasa bahagia itu spesial. Ia datang seminggu, sebulan, atau bahkan setahun sekali dan hilang 5 menit kemudian.
Jika tidak ada workday, maka weekend tidak akan se-spesial itu. Jika tidak ada sakit, maka sehat menjadi tidak bernilai. Jika tidak ada kecewa, maka senang akan hampa. Jika tidak ada kesalahan, maka kebenaran layak dipertanyakan. Ironinya adalah manusia selalu mengutuk partikel negatif yang sebenarnya adalah pondasi kita untuk hidup, dan ‘merasa hidup’.
Bagaimana jika hidup pada hakikatnya adalah untuk ‘merasakan’ setiap emosi dalam hidup? Bukankah kita selalu ingin merasakan hal tersebut? Kesedihan, kebahagiaan, kesenangan, kekecewaan? Tentu kita tidak akan merasakan Y tanpa eksistensi X.
Kita kerap mencaci hal-hal yang membuat kita kecewa sementara ‘rasa’ tersebutlah yang akan membuat manusia benar-benar merasakan kebahagiaan kelak. Hal-hal baik memang datangnya belakangan, seperti kata Bernadya. Tumpukan-tumpukan kesedihan layaknya anak tangga yang akan mengantarkan kita merasakan kesenangan. Bukan tentang sedih ataupun senang, tetapi saya rasa memang seperti itulah hidup – untuk menaiki wahana-wahana yang bernama emosi.