Apakah Masalah Benar-Benar “Masalah” atau Delusi Belaka?

katakurik
4 min readJul 28, 2021

--

oleh : Muhammad Aldiansyah

Masalah kerap mendapatkan stigma negatif di mata kebanyakan orang. Ada yang memaknainya sebagai musibah, bencana, kesusahan, merepotkan dan sebagainya. Masalah menjadi momok yang kurang menyenangkan bagi sebagian orang. Definisi masalah itu sendiri sebenarnya cukup luas dan beragam, beberapa mengartikannya sebagai suatu hal yang harus dihindari, ada yang berpendapat masalah merupakan hal yang tidak diinginkan, masalah adalah pembelajaran, masalah adalah hal yang diciptakan sendiri, hingga ada juga yang mengartikan masalah sebagai suatu hal untuk dihadapi dan diselesaikan. Menurut KBBI, masalah diartikan sebagai hal-hal yang belum dipecahkan. Banyak ahli yang juga mengartikan masalah menurut pandangannya tersendiri. Seorang penulis asal Universitas Michigan yang bernama Jeffrey Liker mendefinisikan masalah sebagai sebuah peluang untuk dapat menuju kehidupan yang lebih baik, dimana lawan dari masalah itu adalah peluang. Agaknya Saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Liker, namun sedikit perbedaan pada muara-nya. Saya melihat bahwa timbulnya suatu masalah bukan tanpa alasan tersendiri / motif tersendiri dibaliknya. Masalah layaknya seorang guru yang memberikan pelajaran di dalam kelas, ia memberikan pelajaran semesta yang memuat hikmah tersendiri dibaliknya. Jika Saya ‘zoom’ lebih jauh lagi terkait masalah ini, maka Saya akan mendapati bahwasanya selama ini kebahagiaan Saya ternyata berasal dari masalah.

Saya sendiri melihat masalah sebenarnya dibagi menjadi dua jenis, yakni masalah yang bersifat eksternal dan internal. Masalah eksternal seperti misal bencana alam, jatuhnya harga saham, pertengkaran orang tua dan sebagainya. Adapun masalah internal meliputi keinginan yang belum tercapai, ambisi, cita-cita dan sebagainya. Kendati dua hal ini Saya artikan secara berbeda, namun ada satu hal yang menjadi kesamaan bagi keduanya, yakni sama-sama ingin Saya temukan solusinya, berhasil mengambil pelajaran setelahnya hingga merealisasikan masalah tersebut menjadi kesempatan untuk Saya menjadi pribadi yang lebih baik. Secara eksplisit, beberapa kebahagiaan manusia identik dengan ketenangan, kemapanan, kekayaan, kebersamaan atau bahkan cinta. Hal-hal tersebut timbul dari kondisi dan situasi sebelumnya yang berlawanan dengan itu, bukan creatio ex nihilo (berasal dari ketiadaan) kalo bahasa filsafatnya. Seperti misal keinginan akan kekayaan dan kemapanan yang sebelumnya berasal dari kondisi kemiskinan yang tidak menyenangkan, menginginkan ketenangan dikarenakan lingkungan dan kehidupan yang terlalu bising dan ingin dicintai karena sebelumnya merasa kesepian. Inilah delusi masalah yang sebenarnya terjadi. Saya bukan lagi jarang, bahkan dulu setiap ada masalah Saya selalu menggerutu dan kesal terhadapnya tanpa menyadari bahwa ternyata ada sebuah makna subtantif dibalik suatu permasalahan.

Berbicara mengenai makna ini sendiri tentunya tidak lepas dari aspek yang berbau-bau metafisika, sesuatu yang tidak terlihat. Benda-benda fisik disekitar Saya saat ini seperti dinding, laptop, handphone, rokok, kopi, meja lipat dan handuk yang menggantung di depan Saya ini memiliki maknanya tersendiri yang kerap kita acuh terhadapnya. Juga makna ini tentu tidak luput terdapat dalam suatu masalah yang menimpa kita. Saya ingat ketika semester 4 perkuliahaan, dimana kala itu nilai Saya terjun bebas seperti game PUBG diawal pertempuran. Tidak tahu alasan tersendiri mengapa Saya bisa melepaskan tanggung jawab Saya saat itu. Saya mengulang dua matkul yang mungkin bagi sebagian orang hal itu adalah biasa dan umum dalam hidup mereka. Akan tetapi, Saya merasa sebaliknya bahwa kuliah ini adalah jalan yang Saya pilih dan merupakan tanggung jawab Saya seutuhnya. Saya tidak memiliki alasan yang cukup kuat mengapa Saya harus mendapat nilai dan IPK yang bagus dalam perkuliahaan. Pasalnya kala itu Saya menganggap kuliah hanya tempat bermain dan berkumpul bersama teman belaka, ditambah kesibukkan Saya mengikuti UKM futsal fakultas rasanya lebih menyenangkan ketimbang harus menggeluti dunia akademik kelas. Sejak kejadian di semester 4 tersebut, pandangan Saya berubah. Saya merasa kuliah tidak sebercanda itu, hanya bermain dan bergaul. Ada suatu hal penting yang harus Saya junjung tinggi, yakni keseriusan Saya dalam belajar. Selintas tergambar bagaimana perasaan orang tua yang telah banting tulang membiayai kuliah Saya apabila mengetahui IPK Saya terjun bebas seperti ini. Masalah ini kemudian Saya renungkan bagaimana agar tidak terulang dan mencari makna dibaliknya. Sejak kejadian inilah, keseriusan Saya akan belajar sedikit berubah kearah yang Saya yakini lebih baik. Rasa sakit ini yang menjadi jembatan kebahagiaan Saya hingga Saya menulis tulisan ini. Masalah ini yang menjadi awal mula Saya menemukan hobi baru, disamping bermain futsal dan berkumpul bersama teman, yakni membaca dan menulis.

Membaca dan menulis tentu bukan hal yang menyenangkan bagi sebagian orang. Beberapa mungkin memaknainya sebagai kegiatan yang jenuh, membosankan dan tidak asik. Saya juga berpikiran demikian pada awalnya, namun kembali lagi Saya berkomitmen untuk tidak memasuki situasi rasa menyedihkan seperti apa yang Saya alami di semester 4. Mendapatkan ilmu itu ternyata asik seperti ketika Saya mencetakkan gol ke gawang prodi / jurusan lain. Dengan demikian, Saya menemukan suatu makna baru akan “kuliah” sejak kejadian itu. Suatu pelajaran semesta untuk menjadikan diri Saya menjadi pribadi yang lebih baik. Mungkin Anda juga dapat menerapkan hal ini kepada diri Anda. Menemukan suatu makna baru pada ranah yang tidak Anda sukai rasanya seperti, atau bahkan melebihi makna pada ranah apa yang Anda sukai. Anda tidak suka miskin, dijauhi teman, mendapatkan nilai jelek, pengangguran? Cobalah sesekali, tidak masalah. Percayalah Saya (buset kayak ustad jadinya), dengan mengalami langsung itu rasanya jauh lebih baik ketimbang hanya sekadar mengetahui. Dengan mengalami kondisi dibawah, hormon keinginan kita untuk menyelesaikan masalah akan lebih terpacu untuk terbang menembus cakrawala.

Stigma negatif akan masalah yang selama ini diyakini beberapa orang Saya rasa hanyalah delusi belaka. Delusi sendiri adalah suatu keadaan seseorang yang meyakini sebuah pikiran yang salah karena bertentangan dengan realitas yang sebenarnya. Semua kebahagiaan berasal dari masalah yang berhasil kita pecahkan, maka tidak naif rasanya apabila Saya berkata kebahagiaan tidak akan ada tanpa permasalahan. Rasa (qualia) yang dilahirkan dari suatu permasalahan menjadi bahan bakar untuk kendaraan kita menuju kebahagiaan itu sendiri. Lantas, bagi Saya pertanyaan yang lebih menarik bukan pada “apa kebahagiaan yang ingin Anda capai”, melainkan “rasa sakit apa yang ingin Anda rasakan”.

--

--

katakurik
katakurik

Written by katakurik

Digital Creative Enthusiast | Bachelor of Philosophy | Digital Marketer

No responses yet