Celoteh Malam

Aku

Seonggok daging yang sering bergunjing.

katakurik
3 min readNov 27, 2022
potret oleh: Oniversos

Seringkali mengeluh seakan hidup penuh akan peluh. Jarang sekali bersyukur padahal hidup penuh mahsyur. Masih diberi nikmat dengan tidur di kos-kosan ber-AC, kamar mandir dalam, TV LCD, water heater, dan Wi-Fi di tengah kota dengan pemandangan citylight yang menatap tajam mata Aku setiap malam. Dasar Aku.

Sedikit berceloteh malam sebelum laga Jerman melawan Spanyol dimulai pukul 2 malam (atau pagi? Terserah). Tidak lupa pukul 06.00 wib nanti Aku mengecek m-banking sebab saldo akan terisi kembali. Saat ini Aku ditemani sebungkus rokok dan kopi seperti biasa. Tidak mungkin rasanya menulis tanpa dua hal ini. Dasar Aku.

Menggunjingkan orang lain rasanya sudah menjadi fenomena yang lumrah di tengah badai media sosial saat ini. Tidak Aku pungkiri bahwa mesin pembentuk hasrat dan makna tersebut telah menjadi bentuk kekuasaan baru abad modern. Semua keinginan kita saat ini tidak mungkin tidak berasal dari hal eksternal, bukan internal. Sepatu Nike seperti yang teman Aku gunakan, make up Sephora seperti yang perempuan cantik itu kenakan di TikTok, tumblr Corkcile di tangan kiri mbak SCBD sepertinya bagus, dan sebagainya. Mesin-mesin itu telah menguasai Aku dengan cara bersemayam di alam bawah sadar Aku. Aku tidak membeli produk-produk apple, tetapi aku membeli status sosial. Dasar Aku.

Hahaha, bagaimana jika Aku balik? Pernahkah Aku menggunjingkan diri Aku? Oh ya maaf, arti menggunjing; membicarakan kekurangan dan keburukan orang lain. Yup, belakangan ini cukup sering dan Aku rasa itu lebih berfaedah ketimbang menggunjingkan orang lain. Perlu Aku buat garis demarkasi bahwa menggunjingkan diri sendiri bukan berarti menjelekkan diri sendiri. Agaknya benar, namun tidak berhenti di situ. Jika Aku menggunjingkan diri Aku, maka sesuatu yang salah terjadi pada Aku. Jika Aku sudah mengetahui sesuatu yang salah, maka Aku akan berbenah. Jika Aku berbenah, maka Aku menjadi Aku yang lebih baik. Jika Aku menjadi “Aku” yang lebih baik, maka mulai bisa membicarakan cita-cita Aku yang ingin meggurangi 1% kelaparan di dunia ini. Anjing bawel banget. Dasar aku.

CIta-cita? Layaknya esensi? Hmm menarik. Mari bermain logic; sebelum gunting diciptakan, apakah Aku memikirkan cita-cita (fungsi) dari gunting tersebut terlebih dahulu baru aku buat alat bernama “gunting”? Atau Aku ciptakan dulu guntingnya baru aku pikirkan cita-citanya (fungsinya)? Sepertinya pernyataan pertama lebih rasional. Esensi mendahului eksistensi, itulah gunting. Sama seperti objek lainnya. Bagaimana dengan Aku? Apakah Aku diciptakan untuk narasi yang sudah tertulis sebelumnya? Atau Aku diciptakan untuk mengukir sendiri narasi Aku? Kali ini, pernyataan kedua rasanya lebih menarik. Eksistensi mendahulu esensi, itulah Aku. Itu juga yang membedakan Aku dengan objek. Dua batang sudah habis, tidak berdosa jika Aku bakar satu lagi bukan? *cklik ssshhh buffff. Nikmat sekali Sampoerna Mild ini. Dasar Aku.

Oh, Aku lupa satu kisah menarik lagi. Dahulu Aku seringkali merasa sedih dan tidak bahagia. Tidak bahagia? Mengapa ada “ketidakbahagiaan” di dunia ini? Setelah menggunjingkan Aku beberapa waktu lalu, sepertinya letak kesalahannya bukan pada semesta melainkan pada Aku yang terlalu naif menempatkan indikator kebahagiaan; pencapaian.

“Kebahagiaan bukan berasal dari seberapa besar pencapaiaan Aku, melainkan seberapa rasional harapan Aku.” — Stoic

Rasa syukur, adiksi, algoritma, refleksi diri, esensi vs eksistensi, dan kebahagiaan. Itulah celotehan malam Aku kali ini. Oh iya, perlu digaris bawahi. Aku tidak membicarakan Aku. Selamat malam…

--

--

katakurik
katakurik

Written by katakurik

Digital Creative Enthusiast | Bachelor of Philosophy | Digital Marketer

Responses (2)