FIlsafat, Agama

Absurditas; Interkonektivitas Manusia dan Agama

Angkat kedua tangan mu, pejamkan mata mu, dan berdoalah

katakurik
2 min readFeb 9, 2023
photo by: H.Nur Ş.I

Topik mengenai manusia dan agama sudah tidak asing lagi menjadi trending topic di media sosial, khususnya di Indonesia. Pun, topik ini juga tidak asing lagi bagi saya yang kurang lebih empat tahun mendalami filsafat. Jika anda seorang content creator, warga Indonesia, dan ingin membanjiri kolom komentar pada konten yang anda terbitkan, maka topik agama tidak pernah kehilangan kejayaannya di negara konoha ini.

Perlu digarisbawahi bahwa tulisan ini saya buat apa adanya, berdasarkan pengalaman pribadi saya, dan murni opini saya. Tidak ada maksud menjatuhkan pihak atau institusi manapun, dan saya yakin para pembaca saya di medium lebih “melek huruf” ketimbang audiens saya di platform media sosial lain.

Apa yang ingin saya bahas pada tulisan ini adalah bagaimana absurdnya interkonektivitas manusia dan agama. Saya menyadari ini sehabis mengobrol dengan ibu saya melalui telepon. Saat kami berkomunikasi, sedikit banyak pasti ia menasihati saya dengan alunan-alunan religius. Saya bersyukur masih dinasihati; berarti ia masih sayang kepada saya.

Setelah percakapan itu, saya merenung sesaat dan menyadari sesuatu. Selama 23 tahun saya memeluk agama, saya selalu berdoa. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara etimologi, definisi doa adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. Kebanyakan isi doa saya selama 23 tahun adalah harapan dan permintaan. Ketika sesuatu yang saya harapkan tersebut terkabul, muncul harapan dan permintaan lain yang entah datang dari mana. Saya berusaha, dan mengangkat kedua tangan saya kembali. Begitu terus prosesnya.

Uniknya adalah kebanyakan dari doa yang saya — mungkin kita — panjatkan berisikan permintaan terhadap hal-hal yang mustahil untuk kita penuhi. Manusia beralih kepada Tuhan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan praktisnya yang tidak bisa dipenuhi dengan baik olehnya.

“Manusia tidak berdoa untuk hal-hal yang menurutnya bisa dipenuhi sendiri.” — Erich Fromm

Saya juga tidak asing dengan asumsi yang mengatakan, “usaha tanpa doa adalah sombong”. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa keberhasilan dan kepercayaan adalah dua hal yang berbeda. Saya berhasil memenuhi sesuatu tanpa doa bukan berarti saya sombong, itu hanya menandakan saya sedang menjadi manusia. Dengan demikian, bagi saya pribadi interkonektivitas manusia dan Tuhan-nya sangatlah absurd (aneh).

Alih-alih berterima kasih dalam setiap doa-nya, manusia cenderung menuntut, menuntut, dan menuntut seolah kehidupan ini tidak patut untuk dituntut sendiri. Kengeriannya terletak pada kemandekan manusia itu sendiri untuk menjadi lebih baik karena mabuk agama. Mereka menyerahkan segalanya ke “atas”, dan minim usaha. Ketika gagal, mereka akan mengatakan, “Tidak apa, rezeki sudah ada yang mengatur.” Hey keong racun, bangun. Tidur mu terlalu miring…

--

--

katakurik
katakurik

Written by katakurik

Digital Creative Enthusiast | Bachelor of Philosophy | Digital Marketer

Responses (1)