Pendakian Gunung Merbabu
3,142 MDPL
2022, selang 2 bulan setelah mendaki Gunung Prau, Saya dan ketiga kawan langsung berencana untuk mendaki lagi ke salah satu gunung terindah di Jawa tengah, Merbabu. Kala itu, harus diakui pengalaman dan persiapan kita sangat minim yang menuntun kita pada kondisi yang kurang mengenakkan di Gunung Prau — pakaian, carrier, dan tenda yang basah.
Belajar dari pengalaman, membuat 2 teman Saya (Kibo dan Anes) langsung ‘kalap’ membeli peralatan gunung. Saya ingat betul mereka langsung membeli 2 carrier high tier di industri outdoor (Osprey). Terlebih, sebelum ekspedisi Merbabu, Anes juga membeli 1 unit tenda bermerk Naturehike sebesar Kijang Innova kapasitas 4 orang. Harus Saya akui persiapan untuk pendakian kali ini sangatlah matang. Semula di Gunung Prau semua peralatan kita menyewa, tapi kali ini sebaliknya.
Kita merencanakan pendakian Merbabu pada 1 Juli (Jumat), turun 2 Juli (Sabtu). Satu bulan sebelum pendakian, Saya langsung mengajukkan cuti kantor dan alhamdulillah disetujui. Sedikit tips untuk teman-teman yang ingin mendaki Saya sangat menyarankan untuk menghindari akhir pekan atau tanggal merah. Hal ini karena biasanya pada waktu-waktu tersebut gunung sangatlah ramai seperti Tanah Abang di Sabtu pagi.
Sedikit menceritakan tentang teman Saya. Kita berempat adalah kawan SMA sewaktu di Balikpapan. Kibo saat itu baru lulus dari Universitas Pertamina Jakarta, ia mengambil jurusan Teknik Geofisika. Anes kala itu sedang mengerjakan skripsi, ia berkuliah di Universitas Diponegoro dan mengambil jurusan Teknik Industri. Dico juga masih mengerjakan skripsi dan berkuliah di Institut Teknologi Nasional Bandung jurusan Teknik Industri. Sementara, kala itu Saya-pun masih dalam pengerjaan Tugas Akhir di Universitas Indonesia, dimana filsafat adalah bidang yang Saya ambil.
Ketika kita melakukan pendakian ke gunung yang berada di Jawa Tengah, sudah pasti domisili titik kumpulnya adalah kost Anes (Semarang, Tembalang). Dikarenakan letak administratif Merbabu serupa dengan Prau (Jawa Tengah), akhirnya kita pun berkumpul di kost Anes kembali.
Kala itu, Saya berangkat di hari Kamis. Transportasi dari Jakarta ke Semarang Saya tempuh menggunakan Bus Sinar Jaya yang harganya sangat bersahabat (sekitar Rp100k–200k). Tentu, ada harga ada kualitas. Harus Saya akui bus-nya kurang nyaman karena jarak antar kursi yang sempit, lama perjalanan karena harus mengangkut penumpang di berbagai titik, dan sulit tidur. Sulit tidur ini dikarenakan lampu interiornya berwarna biru. Saya berkata dalam hati, “Ini gue manusia apa ikan Mas Koki sih dikasih beginian. Kurang gelembung-gelembung doang ini mah.”
Di lain sisi, Kibo sudah berangkat terlebih dulu di hari Selasa-nya menggunakan kereta karena ingin membantu Anes dalam mempersiapkan logistik (belanja, sewa mobil, dan sebagainya). Di sisi lain, Saya mendapat informasi bahwa Dico juga berangkat dari Bandung di hari yang sama dengan Kibo.
Saya sampai di Semarang pukul 4 pagi. Seperti biasa, Saya meminta supir bus untuk menurunkan Saya di Mcdonald Gajah Mada dan menunggu kawan-kawan menjemput Saya. Setelah mengisi perut, tak lama Anes dan Kibo datang menggunakan mobil Avanza yang sudah kita sewa. Saya langsung bertanya, “Mana si Cekih? (panggilan Dico)”, Kibo menjawab, “Nah sebenarnya kita sudah tahu dari kemarin, Mal. Cekih sakit dan berhalangan ikut.” Jawabnya.
Sedikit sedih karena memang Dico adalah orang yang sangat humoris, jokes dan gimmick-nya selalu menghiasi pendakian kita. Tapi, pendakian harus tetap berlanjut. Akhirnya setelah ngopi dan merokok sebentar di Mcdonald, kita kembali ke kost Anes untuk persiapan ke basecamp Suwanting, Gunung Merbabu.
Mengapa memilih via Suwanting? Sebab saat itu di simaksi online keterangannya untuk jalur lain seperti Selo atau Thekelan sudah fully booked. Jadi hanya tersisa 1 jalur, yakni Suwanting. Menurut informasi, jalur ini merupakan jalur tersulit di Gunung Merbabu. Di benak jiwa 3 pemuda sok tahu ini berkata, “Ah masih muda. Fisik masih ok. Kita gas saja Suwanting. Semoga tidak bikin pusing.”
Pukul 5 pagi kita sampai di kost Anes. Mengecek kembali logistik, pakaian, dan peralatan mendaki. Pukul setengah 6 pagi, akhirnya kita bergerak menuju basecamp Merbabu via Suwanting.
Bagi Saya pribadi, keseruan mendaki gunung sebenarnya bukan terletak pada saat kita di puncak, melainkan proses perjalanan yang kita tempuh dan persiapannya. Di perjalanan, seperti biasa Spotify Kibo yang tersambung bluetooth memainkan lagu-lagu Jawa karena vibesnya sangat mendukung sekali. Berada di Jawa tengah, pagi hari, menuju gunung. Kala itu, kita beberapa kali menyetel NDX Aka, Denny Caknan, dan Didi Kempot. Diselingi pula musik-musik general kita saat SMA, seperti Neck Deep, Avenged Sevenfold, MCR, dan Dewa-19. Kita bernyanyi di mobil, menyusuri Semarang, masuk tol jurusan Magelang-Bawen.
Pukul 7 pagi, mentari pagi sudah menjunjung tinggi. Hangatnya sangat bersahabat, cuaca juga sangat cerah kala itu. Di tol, kita matikan AC, dan merokok sembari menikmati tol sepi di selingi pemandangan-pemandangan sawah dan internal jokes. Sedikit bernostalgia juga tentang momen-momen di SMA dahulu, ah indah sekali.
Sekitar Pukul 8 pagi akhirnya kita sampai di basecamp Suwanting. Anes mengisi simaksi, Saya mengecek logistik, dan Kibo membeli bekal untuk makan siang kelak. Saya ingat betul Kibo sempat buang air besar kala itu. Anehnya, selama pendakian gunung Saya tidak pernah buang air besar. Saya salut sekali dengan perut ini, sangat bisa diajak kompromi. Setelah selesai mengisi simaksi, mengecek logistik, dan membeli bekal, kita-pun akhirnya berkumpul dan berdoa di depan basecamp untuk memulai perjalanan.
Kita memulai pendakian sekitar pukul 9 pagi. Untuk menghemat waktu, kita menggunakan ojek dari basecamp ke pintu rimba Gunung Merbabu via Suwanting. Kibo adalah orang pertama yang bergerak, disusul oleh Saya, dan terakhir Anes. Sesampainya di pintu rimba tak lupa kita berdoa lagi dan sedikit mengabari kerabat masing-masing. Akhirnya, pendakian-pun dimulai.
Keunggulan jalur Suwanting ini adalah terdapat mata air, dan kita melewati 3 sabana sebelum mencapai puncak Triangulasi (nama puncak Gunung Merbabu). Namun, memang jalur yang ditempuh cukup jauh dan menantang. Hampir tidak ada bonus (track landai), dan jalurnya pun sempit layaknya jalur babi hutan.
Mulanya, kita masih senang-senang. Perjalanan disambut oleh hutan pinus yang cukup lebat. Nyanyian burung dan segarnya udara kala itu tanpa deru mesin kota cukup menghilangkan stres Saya. Jalur pendakian Suwanting ditandai oleh patok-patok di sebelah kanan dan kiri jalur. Satuan yang digunakan adalah hektometer (HM).
Sekitar di HM 6, Anes mengeluh dan meminta break. Saya pun menunggunya, dan Kibo bergerak duluan ke atas. Saya bertanya, “Kenapa Nes?”, ia menjawab “Carrier ku berat co”. Dalam hati saya berkata, “aduhai lemah sekali anak ini.” Merespon Anes, “Yasudah sini Carrier mu aku yang bawa, gantian.” Memang kala itu carrier Anes adalah yang terbesar diantara kita bertiga. Osprey kapasitas 70 Liter. Sebelumnya, Saya dan Kibo sudah menawarkan untuk tenda dan logistik kita bagi-bagi saja komposisinya. Tapi, ia menolak dengan berkata, “Ah kata Dzawin carrier paling besar itu beratnya juga harus lebih besar.” Yasudah, mungkin dia memang perkasa, pikirku dan Kibo.
Saya mengambil ancang-ancang untuk menggendong carrier Anes, dan ambil momentum mengangkatnya. “Ngekkk” (mengeden layaknya orang mau buang air besar) adalah respon Saya ketika mengangkat carrier tersebut. “Anjing, ini carrier mu isinya masjid kah?” Sontak rombongan pendaki lain di sekitar Saya dan Anes sedikit tertawa. Saya dan Anes pun melanjutkan perjalanan dan menyusul Kibo.
Di atas, Kibo sedang bersantai dan berkata, “Lama juga kalian, kenapa?” Saya pun menjelaskan bahwa carrier Anes berat. Saat itu, patok menunjukkan HM 8. Aku pun bertanya, “Ini campground ada di HM berapa?”, Anes menjawab “HM 36”. Anjrit, kita bertiga sedikit kena mental.
Diantara kita bertiga, memang harus diakui Kibo adalah yang tercepat dan terkuat. Sontak, mendengar informasi tersebut, Kibo berinisiatif menggendong carrier Anes. Kita pun melanjutkan perjalanan menuju post 1 Lembah Lempong.
Pukul 11 siang akhirnya kita tiba di pos 1 (HM 15). Tidak beristirahat terlalu lama, hanya mengopi dan merokok. Setelah 30 menit, akhirnya kita melanjutkan perjalanan. Jalur yang kita lalui mulai rapat. Kanan dan kiri hanya ada tebing. Sekitar pukul 1 siang akhirnya kita sampai di pos 2 bendera (HM 21).
Setelah sekian lama mendaki, Saya akui pos 2 Bendera memiliki pemandangan yang cukup indah. Kita-pun memakan bekal nasi goreng yang tadi kita beli di basecamp. Kondisi saat itu ramai pendaki lain yang sedang beristirahat juga. Sekitar pukul 2 siang, kita-pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju pos 3 Dempo Awang.
Jika melalui jalur Suwanting, setelah pos 2 Bendera kita akan masuk ke kawasan hutan Lembah Manding. Jujur, harus Saya akui, tempat itu memberikan nuansa energi yang berbeda — agak sedikit seram walaupun matahari masih menyinari. Kita bertiga melanjutkan perjalanan, menyusuri Lembah Manding, dimana jalurnya masih sama (menanjak, dan vegetasinya rapat).
Pukul 4 sore akhirnya kita berhasil keluar dari Lembah Manding. Kita beristirahat sejenak di HM 26 yang memang ada sedikit space untuk istirahat para pendaki. Kibo sudah mulai keletihan. Akhirnya, Carrier Anes-pun dikembalikan ke pemiliknya. Setelah selesai beristirahat, kita melanjutkan perjalanan ke pos 3 Dampo Awang.
Sebelum mencapai pos 3, kita bagi tugas. Saya transit di HM 30 untuk mengisi perbekalan air di mata air, sementara Kibo dan Anes duluan ke pos 3 untuk mendirikan tenda. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Di mata air, untungnya Saya tidak sendiri. Saya ditemani oleh 2 pendaki lain atas Depok. Saya pun sedikit mengobrol. “Dari Depok berapa orang Mas?” Saya bertanya. Ia merespon, “ooh kita rame kok, sekitar 12-an orang Mas. Tapi yang lain sudah duluan ke atas buat diriin tenda.” Ucapnya. “Yaudah Mas, nanti ke atasnya barengin ya Mas soalnya Saya sendiri hehe.” Saya mengajak. “Ooh iya santai Mas barengin aja. Kita nikmati dulu aja sunset ini sebentar” Ia menjawab.
Kala itu memang cuaca di Merbabu sedang bagus. Kita sudah berada di atas awan. 1 langkah lagi mencapai campground, ucap ku dalam hati. Akhirnya sekitar pukul setengah 6, Saya dan 2 pendaki asal Depok ini melanjutkan perjalanan menuju campground. Dari mata air ke campground menempuh perjalanan sekitar 15–20 menit dengan track yang sangat terjal.
Di pertengahan jalan, kita bertiga merasa mulai kedinginan. Angin berhembus semakin kencang, dan kita-pun memutuskan untuk memakai jaket. Saya membuka carrier dan mengambil jaket, begitupun 2 pendaki ini. Sesampainya di campground, Kibo dan Anes sudah selesai mendirikan tenda. Kita pun bersih-bersih, dan beristirahat sejenak.
Matahari-pun terbenam. Kita merasa bersyukur bisa sampai sini sebelum malam tiba, horor bos. Menyambut malam, kita pun bersiap untuk memasak. Kibo mengeluarkan logistik, Anes menyiapkan Nesting, dan Saya merokok saja. Belajar dari pengalaman di Prau, pendakian kita kali ini sangat mewah. Untuk makan malam ini, menu nya adalah tomyam pedas. Ah lezat sekali. Kita pun makan sambil berbincang-bincang. Selesai makan, kita putuskan untuk keluar.
Sial, betapa indah sekali ciptaan Tuhan ini. Berada di atas awan, cuaca mendukung, merokok, dimana ribuan bintang masuk dengan sopan ke mata kami bertiga. Jelas pemandangan yang tidak akan kita dapatkan di kota.
Kondisi kita saat itu sepertinya sudah agak malas untuk ke puncak di besok pagi. Kibo dan Saya mengeluh di bagian lutut, sementara Anes sudah mengeluh di sekujur tubuhnya (sakit-sakit). Akhirnya kita putuskan untuk tidur pada pukul 10 malam, dan mengalir saja apakah besok akan ke puncak atau tidak.
Pukul 3 pagi, Saya dibangunkan oleh Anes dan Kibo untuk summit attack (melakukan perjalanan ke puncak). Keputusannya adalah, yes, kita ke puncak. Perjalanan dari pos 3 ke puncak memakan waktu sekitar 3 jam. Matahari sama sekali belum terlihat. Deru angin terus menusuk membelah lereng gunung. kilauan lampu kota masih terlihat dari atas.
Singkat cerita, akhirnya kita sampai ke Puncak Suwanting, 1 puncak sebelum puncak sesungguhnya (Triangulasi) pada pukul setengah 6 pagi. Berfoto, dan beristirahat sejenak. Saya sempat nyeletuk, “Bo, ayo kita turun aja Bo. Capek sekali.” Ia menjawab, “Ah tanggung udah di sini. Itu tuh udah keliatan Triangulasi.” Akhirnya Saya pun setuju untuk melanjutkan perjalanan.
Benar saja, jika Saya turun sendiri mungkin Saya akan menangis sebab pemandangan jalur Suwanting ini sangat luar biasa indah. Begitu matahari menyingsing lereng gunung, mulai kelihatan keindahan sabana Suwanting. Saya pun sedikit meneteskan air mata dan rebahan saking indahnya.
Akhirnya, kita bertiga pun tiba di puncak Triangulasi. 3,142 MDPL. Suasana saat itu tidak terlalu ramai. Ini adalah gunung di atas ketinggian 3,000 MDPL pertama bagi Saya, Kibo, dan Anes. Kita berfoto, menikmati pemandangan, dan berbincang-bincang. Tidak sedikit orang yang minta tolong untuk memfotokan ia dengan rombongannya. Kita pun saling membantu. Diujung, terlihat jelas gagahnya Gunung Merapi yang sedang menghembuskan nafasnya.
Setiap orang tentu memiliki caranya tersendiri untuk ‘merasa hidup’. Versi Saya adalah mendaki gunung bersama teman-teman. Sebab tempat ini seperti memberikan saya ‘ruang’ untuk bernafas, untuk tenang bahwa apapun yang terjadi angin tetap berhembus, dan bumi tetap berotasi. Kata yang tepat untuk menjelaskan pendakian ini adalah jeda, dan nostalgia. Terima kasih telah mampir, dan sampai jumpa di cerita gunung Saya lainnya:)